in ,

Jangan Buta Sejarah

Oleh: Muh. Nursalim

“Maaf dik, kamu ngerti ndak siapa Hamka itu ?” tanyaku kepada seorang remaja di depanku. Dia tersenyum sambil menggelengkan kepala.

“Kalau Haji Agus Salim tau ?” Aku bertanya lebih lanjut. Tetap hanya tersenyum dan geleng-geleng

“Kalau M Natsir tau?” Tetap saja, dijawab dengan senyuman

Remaja itu mengaku duduk di kelas tiga sebuah SMP Negeri di Dhamasraya, salah satu kabupaten di Sumatra Barat. Pertanyaan serupa saya lontarkan kepada kawannya yang duduk di sampingnya. Tetapi juga hanya dijawab geleng kepala.

Dulu, ketika aku masih seusia dengan remaja tersebut sudah khatam membaca biografi Hamka dan Natsir. Sudah baca juga novel di bawah Lindungan Kakbah, Ayahku dan Tuanku Rao. Ketiganya karya buya Hamka. Bahkan juga sudah baca pikiran Tan Malaka dan sepak terjangnya. Dan tentu perjuangan si kakek tua Haji Agus Salim yang pintar sembilan bahasa asing itu.

Awal tahun hijriah ini saya berkesempatan mengunjungi tanah Minangkabau. Tempat puluhan ulama dan tokoh kemerdekaan berasal. Selain tokoh di atas ada Muh. Yamin, Abdul Halim, Sutan Syahrir, Hatta dan Jamil Jambek. Dari kalangan sastrawan ada Abdul Muis, Marah Rusli, Usmar Ismail dan Adinegoro.

Karena itu di otakku terekam, orang Sumatra Barat itu hebat-hebat. Aktifis ilmu dan pejuang kemerdekaan. Kehidupannya religius, budayanya syar’i seperti yang terekam dalam buku. Adat bersandikan syara’ dan syara’ bersandikan kitabullah.

Saya tidak sedang melakukan survei. Hanya iseng wawancara sambil menunggu acara sebuah perhelatan keluarga. Sambil nongkrong di depan sebuah toko swalayan. Kebetulan ada dua remaja berpeci mencari sumbangan untuk pembangunan sebuah masjid.

Di siang hari yang begitu panas, dua remaja itu saya lambaikan tangan agar mendakat. Sambil memberi tanda bahwa penulis akan memberi sumbangan. Setelah memasukkan uang di kenclengan yang mereka bawa, keduanya saya persilahkan duduk. Kemudian penulis suguhkan teh botol dingin dan sebuah roti.

Tidak habis pikir bagaimana sejarah orang-orang hebat itu tidak dimengerti dua pelajar tersebut. Namanya saja tidak kenal, apalagi buah pikirannya. Padahal tokoh-tokoh ternama berasal dari daerahnya. Mereka hanya menganal Hatta. Itupun sebagai proklamator, tidak mengerti jika wakil presiden pertama itu berasal dari Minangkabau.

Mungkin termakan dengan slogan mas mantri pendidikan, “Saya lebih mengerti masa depan”. Akhirnya tidak peduli masa silam. Lalu meninggalkan jejak para pendiri negeri yang punya kontribusi besar terhadap lahirnya sebuah peradaban.

Sejarah itu mesti dimengerti walau tak harus dihafal. Sebab manusia itu tidak lahir di ruang kosong. Tetapi di sebuah tempat yang sudah berperadaban, apapun warna peradaban yang ada. Dari situlah manusia berpijak untuk melangkah ke masa depan. Kepada yang lebih baik.

Kaidah fikihnya, Al muhafadhatu ‘alal qodimi shalih wal akhdzu bil jadidil aslah (merawat tinggalan yang baik dan mengambil hal yang baru yang lebih baik). Kaidah inilah yang menggerakkan manusia terus berproses kepada kemajuan dengan sesekali tetap menengok ke belakang.

Ada tinggalan dari tim sembilan yang merumuskan pembukaan undang-undang dasar 1945. Salah satunya adalah alenia ini.

“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.

Sembilan orang itu tiga di antaranya adalah dari Sumatra Barat, yaitu Muh. Hatta, Muhammad Yamin dan Haji Agus Salim. Rumusan mereka sampai hari ini terus dibaca saat upacara bendera. Tujuannya tentu bukan hanya mengenang tetapi menghidupkan kembali bahwa perjuangan kemerdekaan itu melibatkan Allah. Maka negara yang kemudian didirikan bukanlah negara sekuler dan anti agama.

Keinginan luhur para pejuang tidak akan ada artinya apa-apa bila Allah yang Maha Kuasa tidak menghendaki. Maka bagi seorang muslim berjuang itu diniatkan untuk Allah, berproses sesuai dengan syari’ah Allah dan berakhir untuk memperoleh ridha Allah. Baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.

Dalam perjalananya ternyata ada saat di mana orang-orang anti agama memaksakan diri merebut negeri. Tiga kali pemberontakan mereka lakukan. Sekali sebelum proklamasi yaitu tahun 1927, kedua tahun 1948 di Madiun dan ketiga tahun 1965 yang terkenal dengan G30S/PKI.

Kekejaman PKI dalam memaksakan kehendaknya direkam baik oleh Anab Afifi dan Thomas Zuharon dalam buku, Banjir Darah. Buku ini sudah naik cetakan ketiga, di mana setiap kali cetak habis kurang dalam satu bulan.

Sebelum itu pada tahun 2013 secara resmi PB NU juga menerbitan buku Benturan NU- PKI. Buku ini dibuat atas amanah PBNU khususnya Rois Syuriah, KH. Sahal Mahfud. Pada kata pengantar yang ditulis oleh Abdul Mun’im DZ disebut alasan pentingnya buku tersebut.

“Saat ini banyak kalangan NU terutama generasi mudanya yang tidak lagi mengenal sejarah NU, termasuk sejarah benturan NU-PKI, sehingga mereka mengikuti saja cara berpikir orang lain, baik akademisi maupun politisi yang memojokkan NU dalam peristiwa G-30S/PKI. Ada kelompok NU karena tidak tahu sejarah, akhirnya tidak bisa membela diri, karena mereka tidak memiliki cukup argumen. Ternyata banyak juga generasi tua yang mengalami peristiwa itu tidak mampu menjelaskan secara memuaskan tentang duduk perkaranya, sehingga persoalan itu menjadi mengambang. Akibatnya banyak kader NU yang bimbang. Tidak hanya tidak bisa membela NU, tetapi malah menyalahkan diri sendiri dan menyalahkan para ulama NU”.

Buku Banjir Darah lebih banyak mengkisahkan bagaimana kekejaman PKI. Mengintimidasi, menyiksa, membunuh bahkan menggergaji hidup-hidup orang-orang yang dianggap menghalangi niat busuk mereka. Sedangkan buku Benturan NU-PKI banyak menceritakan reaksi santri dan kyai melawan kekejaman mereka.

Mungkin karena trauma sejarah kekejaman PKI ini, belakangan setiap kali ada kebijakan yang memberi peluang hidupnya kembali PKI selalu ramai diperbincangkan. Ada RUU HIP, investasi China dan tenaga kerjanya juga haluan politik luar negeri yang berbeda. Bahkan sampai gambar dalam uang Rp. 75 ribu pun disoal.

Ada yang hoax ada pula terlalu paranoid tetapi sebagian juga sesuai dengan fakta dengan argumentasi tersendiri. Isu dan informasi tersebut berjalin berkelindan untuk kemudian menjadi alasan kuat mewaspadai kembalinya PKI di negeri ini.

Literasi kaum milenial itu androit. Padahal banyak informasi digital yang menyesatkan. Sebagai contoh adalah tentang PKI. Bila kita googling dan nulis kata PKI maka yang pertama muncul adalah penjelasan dari wikipedia. Pada sub bab Pembunuhan Massal Akhir dari PKI ditulis demikian.

“Bukti yang mengaitkan PKI untuk pembunuhan para jenderal tidak meyakinkan, yang mengarah ke spekulasi bahwa keterlibatan mereka sangat terbatas, atau bahwa Suharto mengorganisir peristiwa, secara keseluruhan atau sebagian dan mengkambinghitamkan komunis”.

Informasi semisal itulah yang merisaukan kyai Sahal Mahfud yang kemudian memerintahkan jajaran NU untuk melakukan riset. Menulis fakta yang sebenarnya seperti yang dialami oleh para santri dan kyai saat kejadian. Bukan merujuk buku-buku karangan orang barat yang ternyata juga tendensius dan hoax. Berikut pernyataan Abdul Mun’im.

“Peristiwa tragis tersebut telah banyak ditulis orang, baik oleh
sejarawan Indonesia sendiri maupun kalangan orientalis atau
Indonesianis atau Belanda-Belanda. Untuk penulisan ini kami
terpaksa membaca berbagai macam buku Belanda tentang
pemberontakan PKI mulai tahun 1926, 1945, 1948 hingga 1965, yang sudah lama dibaca orang. Seperti buku Madiun 1948 PKI Bergerak, dan buku The Dark Side of Paradise, karya Geoffrey Robinson, tentang pembantaian PKI Bali, buku Victor M Fic, Anatomy of Te Jakarta Coup October 1965, yang membahas Kudeta 1 Oktober 1965. Tentu saja juga buku Ben Anderson dan Ruth T McVey, A Preliminary Analysis of the October 1 Coup in Indonesia, dan segudang buku terlanjur dianggap babon tentang PKI lainnya. Tetapi setelah semuanya rampung dibaca terpaksa harus segera
ditutup kembali, lantas dibungkus rapi dan dimasukkan kotak,
karena semuanya tidak berguna untuk kebutuhan ini”.

Framing PKI adalah kurban menjadi agenda kaum komunis. Dengan berbagai cara dan sarana. Mulai dari informasi hoax hingga buku pseudo ilmiah. Mereka dapat energi dari Indonesianis dan aktifis hak asasi manusia. Sehingga kemudian merasa layak minta rekonsiliasi bahkan kompensasi. Karena merasa telah dijadikan korban. Padahal menurut kesaksian para kyai, bukan begitu faktanya.

Sejarah berdiri dan perjalanan negara ini penuh dengan pejuangan dan pengorbanan para ulama. Hal ini perlu diberitahukan kepada para pelajar dan mahasiswa. Dengan benar tanpa manipulasi. Agar arah dan tujuan negara nyambung dengan apa yang mereka impikan.

Tutur tinular. Diceritakan ulang kisah perjuangan orang-orang baik. Bukan untuk riya’ dan sum’ah tetapi memberi tauladan kepada anak-anak agar meneruskan perjuangan para leluhurnya. Seperti Hamka menulis biografi bapaknya dengan judul Ayahku. Kemudian putra Hamka yang bernama Rusdi Hamka juga menulis biografi bapaknya dengan diberi judul yang sama Ayahku.

Karena itu akan sangat baik jika para aktifis Islam merekam jejaknya dalam bentuk memoar. Diterbitkan dan di share ke media sosial. Agar informasi yang benar terbaca oleh anak-anak milenial. Bahwa kontribusi orang-orang mulia utuk negara ini nyata adanya.

Mereka mendirikan madrasah bukan untuk ngatung dana bantuan pemerintah. Menyelamatkan lingkungan bukan untuk meraih kalpataru dan mengajari santri bukan dalam rangka mendapat sertifikasi. Sangat berbeda dengan pekerjaan influencer, tik toker dan buzzer. Pengikutnya banyak tetapi hanya sebagai sumber pangan.

Akhirnya, sejarah akan mencatat siapa sebenarnya penyantun negara dan siapa yang minta santunan ke negara. Siapa pula pembangun dan penghancur. Biarkan anak cucu yang akan menilai. Selebihnya tentu Allah akan menseleksi siapa yang paling baik amalnya.

Jangan Tinggalkan Generasi Yang Lemah Secara Finansial

Tabasun, Saling Besanan Antar Alumni Ngruki