Semakin berat menjalankan ibadah puasa semakin besar pahalanya
Oleh: Muh. Nursalim
Cerita kawan yang putranya sedang kuliah di Belanda, saat ini sang anak puasa selama 15 jam 30 menit. Sehingga kalau sore hari dirinya tidak dapat membedakan antara lapar dengan halusinasi. Karena baru kali ini ia berpuasa di negeri kincir angin tersebut. Bahkan nanti di akhir ramadhan harus berpuasa 17 jam.
Bandingkan dengan kita yang ada di tanah air. Antara imsak dengan magrib hanya 13 jam 30 menit. Rentang waktu ini ajeg hingga akhir ramadhan. Kalaupun ada perubahan hanya beberapa menit yang tidak signifikan.
Berbedaan yang lumayan jauh itu karena Amsterdam yang menjadi ibukota Belanda ada pada 52’22’ Lintang Utara sedangkan Solo ada pada 7’34” Lintang Selatan. Belanda jauh di bumi bagian utara kita ada di dekat katulistiwa
Tetapi Allah itu Maha Adil. Dia akan memberi ganjaran orang yang lebih berat menjalankan puasa daripada yang ringan. Kaidah fikihnya begini.
العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ
Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.
Kaidah di atas disampaikan Imam Suyuthi dalam kitab Asybah wan Nadhair. Beliau mendasarkan kaidahnya pada sebuah hadis Nabi berikut.
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَصْدُرُ النَّاسُ بِنُسُكَيْنِ وَأَصْدُرُ بِنُسُكٍ وَاحِدٍ قَالَ « انْتَظِرِى فَإِذَا طَهَرْتِ فَاخْرُجِى إِلَى التَّنْعِيمِ فَأَهِلِّى مِنْهُ ثُمَّ الْقَيْنَا عِنْدَ كَذَا وَكَذَا – قَالَ أَظُنُّهُ قَالَ غَدًا – وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ – أَوْ قَالَ – نَفَقَتِكِ
Dari Ummul Mukminin, Aisyah ra berkata, “Wahai Rasulullah orang-orang pulang dengan telah melakukan haji dan umrah sedangkan aku hanya dengan membawa haji”. Rasulullah bersabda, “Tunggulah hingga kamu suci dari haidh lalu keluarkah ke Tan’im untuk mengambil miqat umrah di sana, kemudian temui kami dekat ini dan ini. Akan tetapi pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan, atau beliau bersabda, “tergantung nafkah yang kamu keluarkan”. (Hr. Muslim)
Kaidah ini berlaku umum. Misalnya, shalat dengan berdiri lebih baik daripada sambil duduk, shalat sambil duduk lebih baik daripada sambil berbaring. Dalam ibadah haji, malaksanakan haji secara ifrad (haji dulu baru umrah) lebih baik daripada haji secara qiran (haji dan umrah dilaksanakan bareng).
Dengan kaidah itu pula maka pekerja berat, seperti tukang menjemur padi yang harus berada di bawah terik matahari siang hari bila berpuasa akan lebih besar pahalanya daripada pekerja kantoran yang ada di ruang AC. Orang yang jarak rumahnya lebih jauh dari masjid jika ia shalat berjamaah pahalanya lebih besar daripada yang tetangga masjid.
Dalam rangkaian ajaran puasa ada sebuah ayat yang menunjukkan tentang berlakunya kaidah fikih di atas. Sebagaimana firman Allah.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ [البقرة/184]
Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Dengan memakai kaidah fikih tersebut, pada ayat ini ditemukan dua contoh. Pertama, walaupun orang-orang tertentu boleh tidak puasa akan tetapi puasa tetap lebih baik. Orang safar, orang sakit dan orang yang berat menjalankan puasa bila tetap berpuasa pahalanya akan lebih besar. Karena mereka lebih payah dan berat.
Contoh kedua adalah, membayar fidyah. Standarnya adalah memberi makan satu orang miskin. Akan tetapi bila bersedia memberi makan 5 orang miskin tentu pahalanya lebih basar.
Kaidah fikih tersebut tidak berlaku pada amalan yang secara nash ada anjuran untuk mengerjakan lebih ringan. Misalnya,
1. Dalam safar shalat qashar lebih utama daripada shalat komplit. Ketika ditanya seorang sahabat tentang shalat di saat safar Nabi saw menjawab
فَقَالَ « صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
“Qashar shalat itu sedekah yang Allah berikan kepada kalian. Maka terimalah sedekah tersebut.” (HR. Muslim)
2. Dalam shalat, membaca surat secara utuh lebih utama daripada membaca sebagian surat walaupun yang sebagian surat itu lebih panjang. Dalilnya begini.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَقْرَأُ فِى الرَّكْعَتَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ ، وَسُورَةٍ سُورَةٍ ، وَيُسْمِعُنَا الآيَةَ أَحْيَانًا
Dari Abdullah bin Qatadah ra berkata, “Rasulullah ﷺ pada dua rakaat pertama dalam shalat Zuhur dan Asar membaca Al-Fatihah dan surah masing-masing, dan terkadang Beliau memperdengarkannya kepada kami ayat yang dibacanya (HR. Bukhari ).
3. Dalam mendaras alqur’an membaca mushaf lebih baik daripada membaca secara hafalan. Dalilnya hadis berikut:
عَنْ عُثْمَانَ بن عَبْدِ اللَّهِ بن أَوْسٍ الثَّقَفِيِّ ، عَنْ جَدِّهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قِرَاءَةُ الرَّجُلِ الْقُرْآنَ فِي غَيْرِ الْمُصْحَفِ أَلْفُ دَرَجَةٍ ، وَقِرَاءَتُهُ فِي الْمُصْحَفِ يُضَاعَفُ عَلَى ذَلِكَ إِلَى أَلْفَيْ دَرَجَةٍ.
Dari Utsman bin Abdullah bin Aus ats Tsaqafi RA dari kakeknya, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Bacaan Al-Qur’an seseorang tanpa melihat mushaf adalah seribu derajat (pahalanya), dan bacaannya dengan melihat mushaf adalah dilipatkan sampai dua ribu derajat.” (HR. Tabrani)
4. Dalam puasa, mengakhirkan makan sahur lebih baik dari pada masih terlalu malam. Sebaliknya dalam berbuka menyegerakan lebih baik daripada menunda-nunda. Sebagimana amalan Nabi berkut
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ تَسَحَّرَا ، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا قَامَ نَبِىُّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى الصَّلاَةِ فَصَلَّى . قُلْنَا لأَنَسٍ كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِى الصَّلاَةِ قَالَ قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu pernah makan sahur. Ketika keduanya selesai dari makan sahur, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, lalu beliau mengerjakan shalat. Kami bertanya pada Anas tentang berapa lama antara selesainya makan sahur mereka berdua dan waktu melaksanakan shalat Shubuh. Anas menjawab, ‘Yaitu sekitar seseorang membaca 50 ayat (Al-Qur’an).’ (HR. Bukhari)
Dalam bisnis juga berlaku kaidah high risk high return (semakin besar resiko maka semakin besar pula pendapatannya). Maka ketika di bulan ramadhan ini anda impor kurma lima ton dari Arab Saudi peluang labanya lebih besar daripada jualan kolak di pinggir jalan.
Ibadah adalah bisnis dengan Allah. Beberapa jenis ibadah dijelaskan Rasulullah saw kadar pahalanya. Misalnya sedekah dilipatkan 10 hingga 70 kali. Baca alqur’an satu huruf 10 kebaikan. Shalat jamaah pahalanya lipat 27 kali. Ijtihad, bila benar dapat dua pahala bila salah dapat satu.
[contact-form][contact-field label=”Name” type=”name” required=”true” /][contact-field label=”Email” type=”email” required=”true” /][contact-field label=”Website” type=”url” /][contact-field label=”Message” type=”textarea” /][/contact-form]
Khusus untuk puasa, kata Allah “itu untukku dan Aku akan kasih pahala sekehendakku”. Meskipun demikian kaidah semakin berat menjalankan semakin besar pula pahalanya, tetap berlaku. Wallahua’lam