Oleh : Anab Afifi
(Penulis Buku, Alumni)
Saya sudah lupa bagaimana rasanya terima gajian. Tiap akhir bulan. Atau awal bulan.
Yang saya ingat hari itu begitu penting. Keputusan besar harus saya tulis: pamit dari tempat saya bekerja.
Rasanya itu seperti sebuah proklamasi kemerdekaan. Proklamasi paling indah dan gagah dalam hidup saya.
Terjadi di bulan Oktober tahun 2000. Sembilan belas tahun yang lalu.
Saya pamit baik-baik. Saya tulis surat begitu resmi. Saya sampaikan kepada pimpinan saya dengan hati-hati: Pak Hidayat Muchtar.
Berbeda dengan yang saya rasakan saat itu. Bos saya itu tidak hepi. Wajahnya ditekuk. Kecewa. Lalu berkata dengan lemah:”kamu gak boleh keluar”.
Kalimat bos saya itu masih sama seperti yang saya dengar tiga tahun sebelumnya. Hanya beda redaksi saja.
“Kamu baru boleh keluar dari kantor ini setelah saya pensiun”, ujarnya saat itu.
Namun, hati saya sudah bulat. Harus keluar. Sejak awal bekerja niat saya cuma satu: belajar.
Sekarang saya merasa sudah waktunya lulus. Lulus dari kuliah organisasi. Kuliah manajemen. Kuliah bisnis. Kuliah tentang sepak terjang korporasi (saat itu hampir 400 perusahaan go public menjadi klien kantor ini). Kuliah tentang bagaimana seharusnya jadi pimpinan. Juga kuliah bagaimana menjadi bawahan yang baik.
Tentu itu adalah klaim kelulusan sepihak.
Toh sejak hari itu, nyatanya kuliah ini nggak ada habis-habisnya. Sampai hari ini.
Tahu satu ilmu baru, datang lagi yang lebih baru. Bisa menyelesaikan satu masalah datang seratus masalah baru. Diantara sekian tawa terselip banyak tangisan. Di atas langit ada langit.
Dan bila datang masalah yang pelik terkadang muncul perasaan itu: enaknya jadi karyawan. Tidak perlu mikirin dari mana uang gajian berasal.
Pak Hidayat mengajari saya banyak hal. Diantaranya bila datang tanggal gajian. Dia akan memanggil staf satu persatu. Duduk menghadap di depan meja kerjanya. Bicara sambi bercanda.
Pada saat itu, dia akan menandatangani slip gaji itu di depan saya. Di depan karyawan lainnya juga. Lalu menyerahkan amplop.
Senakal-nakalnya saya sebagai bawahan, beliau tidak pernah berkata kasar. Marah sering.
Pernah suatu kali di tahun 1997. Semua staf naik gaji dan bonus. Kecuali saya.
Saya tidak protes. Saya memahami. Beliau kecewa. Meski pekerjaan saya beres. Itu semata karena kenakalan saya. Karena saya tidak pernah bisa diam.
Saya punya banyak pekerjaan di luar. Dengan penghasilan sepuluh kali lipat gaji saya. Bahkan lebih besar dari gaji pimpinan saya. Karena itulah, saya nekad ingin keluar dari kantor itu.
Tapi sekecewa dan semarah-marahnya Pak Hidayat tidak pernah keluar kalimat semisal: Yang gaji kamu siapa?
Tak dapat membayangkan bagaimana jika kalimat semacam itu keluar.
Yang gaji kamu siapa?
Tak kan sekali-kali kalimat intimidasi semacam itu boleh keluar. Itu adalah pelanggaran etika yang berat. Etika perilaku pimpinan yang buruk. Meski itu usaha milik sendiri.
Yang gaji kamu siapa?
Andaikan kau tetap dituding seperti itu oleh pimpinanmu, terima dengan lapang dada.
Kau boleh keluar baik-baik dari tempatmu bekerja. Lalu menjadi pimpinan di perusahaanmu sendiri. Yang selalu bersikap setara dengan karyawan atau bawahanmu.
Dan, sekali-kali jangan pernah ucapkan kalimat: Yang gaji kamu siapa?