Alloh SWT lebih sayang ustadz Wahyudin
Oleh : Nurdin Urbayani, Bendahara Yayasan Al Mukmin Ngruki dan Presiden Alumni Ngruki (Ikappim)
Saya mengenal Ust Wahyudin sejak nyantri tahun 1980, suara nya yang merdu saat menjadi imam sholat masih terngiang di telingaku, kaset kaset rekaman suara yang aku rekam di ruang Takmir Masjid menjadi bukti suara khas belia iniu.
Ketika saya merintis pesantren Al Mujahidin tahun 1992, saya selalu bertanya kepada beliau tentang segala pernak pernik permasalahan pesantren baru.
Tahun yang sama saya harus merepotkan beliau lagi untuk membantu nembung ke calon mertua saya, lurah desa Wangen Klaten yang merupakan teman beliau saat mondok di Gontor, dan akhirnya setelah sekian kali pertemuan Bapak Muhamad Yunus Qodir, mengijinkan putri nya menjadi pendamping hidup saya.
Beliau saya anggap sebagai guru – mentor – konsultan dan bahkan seperti ayah saya sendiri.
Ketika saya merintis Yayasan Al Abidin tahun 1995 saya minta beliau menemani saya sebagai Dewan Pembina.
Daya juang dan tegar nya menghadapi cobaan semakin membuat saya terhenyak, apalagi saat beliau bercerita bahwa beliau pernah dipenjara di ruang penjara yang sama dengan yang ditempati Bapak saya, Haji Soeparno Zain Al Abidin di Makorem Surakarta.
Alhamdulillah saya di taqdirkan membantu beliau di Yayasan Al Mukmin Ngruki, dua tahun yang penuh dengan tambahan pelajaran tentang bagaimana sabar – kuat – tabah dan ikhlas dalam merawat aset umat Islam.
Kami masih sangat butuh bimbingan – arahan – nasehat dan tausiyah beliau, tetapi Alloh SWT Sang pemilik alam semesta lebih mencintai beliau, seakan memanggil beliau dengan kalimat : sudah , sudah cukup kamu beramal Sholih di dunia , pulang lah, pulanglah ke Robmu… Yaa ayatuhan nafsul Muthmainnah .. irji’ii ila robiki rodhiyatan Mardiyah… fadkhulii fii ‘ibadii… wadkhulii jannatii…
Malabar Express
5 Agustus 2019
Nurdin Urbayani
*Coretan ini saya tulis diatas kereta api menuju Ciamis Jawa Barat, menghantarkan beliau ke pemakaman terakhir.
SEBAGIAN MANAKIB BELIAU ?
(secercah yg bisa dijadikan “tepo palupi” atau uswah…In memoriem).
Oleh : Ust. Mualif Rosyidi, Sekretaris Yayasan Al Mukmin Ngruki
MENGGALI LAGI NASEHAT BELIAU ?
(agar santri mandiri ..serial manakib).
Dari raut wajahnya.. tampak sumringah sekali, dan berbinar bangga saat beliau menceritakan kepada mbah Kumis bahwa :
Salah satu santrinya di pondok pesantren, yg dulu diasuhnya..kini maju usahanya, sukses sebagai “petani kopi, coklat” (ndak nyangka dia sekarang sukses).
Tetapi ada yg istimewa : Masih setia menyambung komunikasi dan silaturahmi dengan beliau, bahkan berkonsultasi tentang hal ihwal yg dihadapinya.
Dan tetap menjunjung tinggi semangat berjuang untuk memajukan “syi’ar agama” di non jauh di sana, di luar Jawa.
(sebagaimana yg slalu diberikan “tasyji’ atau dorongan untuk berdakwah kapan dan dimanapun).
Beliau selalu menekankan bahwa santri itu harus mandiri, dan tidak boleh tergantung pada belas kasihan orang lain.
(berarti jual “emas”…mas nyuwun mas.?, atau bakulan “semangka”…alias mung “glundhang glundhung” ora nyambut gawé ?).
Cocok dengan pesan Nabi :
“Wa laa takuunu KALLAN alannaas…”.
Yang artinya : Jangan sekali-kali kalian menjadi bebannya orang lain.
Maka “kemandirian” (seperti motto pesantren), dan mampu produktif dengan usahanya sendiri..slalu beliau tekankan agar para santri tidak menggantungkan pada orang lain.
Istilah populernya (kayak yg jadi sasaran pendidikan pesantren) adalah QODIRUN ‘ALAL KASBI, yg terjemahan bebasnya : mampu menciptakan pekerjaan sendiri.
Ndak usah malu harus bekerja kasar, kalau disitu dia memperoleh keberkahan (karena halalnya), seperti yg beliau pesankan bahwa amal itu akan dinilai, berkwalitas di sisi Nya jika :
Niatnya benar,.. caranya juga benar (tidak ngawur),.. ada pengorbanan dalam melakukannya, dan yg terakhir… ada tingkat manfaat yg ditebarkannya.
Ndak heran saat di pesantren (seperti rata-rata pesantren lainnya), para santri sudah harus menyelesaikan semua urusan atau keperluannya sendiri.
(mandi.. mandi sendiri, cuci baju sendiri…dst…kayak lagunya Caca Handika “angka satu” saja ?).
Beliau sangat senang sekali jika santrinya yg sudah lulus ..bisa menyempatkan diri silaturahmi ke pesantren sebagai almamaternya.
Mau berkunjung kepada para gurunya (termasuk mereka yg sudah SUKSES), untuk berbagi informasi tentang kiprahnya di masyarakat.. dan itu sangat membahagiakan beliau.
Perlu diketahui lur..bahwa “membahagiakan” ortu dan guru itu tidak harus dengan materi, tetapi critamu yg baik, kiprahmu yg bermanfaat, kegigihanmu dalam berjuang menegakkan kebenaran.
Pula kesetiaanmu kepada keluarga, suksesnya anakmu (dalam kontek kebaikan)..semuanya bisa NYUWARGAKKÉ atau membahagiakan hati ortu dan gurumu.
Seperti yg sudah disenggol di atas, maka beliau tampak sumringah, dan berbunga hatinya saat menceritakan kesuksesan santrinya yg dulu diasuhnya…Masya Allah
Gembirakan hati ortu dan gurumu dengan kisah yg baik darimu, tentang kesungguhanmu berkhidmah di masyarakat, dan suksesmu mendidik putra putrimu sesuai dengan koredor agama dan lainnya yg baik-baik.
Jangan hanya yg SENEP-SENEP, yg mengenaskan saja dicritakan, tetapi kalau untung , usahanya berhasil…malah ditutupi, atau terkesan disembunyikan (?).
Beliau slalu pesan : Sempatkan untuk mampir, silaturahmi ke pesantren, bertemu dengan pengasuh , dan ikut (seberapanya) berkontribusi untuk kebaikan pesantren.
Rasanya CLES, dan NYES jika mendengar kesuksesan mantan santrinya, meskipun dulunya jadi saudaranya DORAIMON…doracetho, doranggenah, dan dosak karepe dhewe (?).
Oke ..dilanjut lain waktu…
Allohummaj’alhu minal Abroor. Amin.
Mungkin yg mbah Kumis akan andharaken atau coretkan dari “tepo palupi”, yg bisa dicontoh dari beliau (Ust.Wahyuddin.. Allohu yarhamuh) kali ini adalah :
Yang “ringan-ringan” (karena sisi lainnya sudah banyak ditulis) tentang keseharian beliau, mengingat mbah Kumis cukup lama bergaul dan ikut membantu beliau dalam melaksanakan tugas.
Lur..saat ditanya tentang “kiat” agar hati tetep “nyaman”, eksis dalam melakukan tugas, dan tak merasa “terusik” (meski harus “ngelus dada”), karena ada perlakuan atau sikap yg tak ramah kepada beliau (?).
Ini yg menarik, namun prakteknya ndak gampang, perlu hati yg MENEP, sehingga semuanya tetep “well”, jadi energi, dan refleksinya dalam perbuatan nyata akan lebih elok, berkualitas dan berkah.
(“MENEP”..istilah Jawa, kalau dilustrasikan : kayak mubal-mubalnya air yg keluar dari sumber,.. mungkin masih campur kapur atau kotoran daun, kemudian mengendap, maka tinggallah airnya yg BENING dan menyehatkan yg siap diminum, namun butuh waktu…).
Dari jawaban beliau , dapat diistimbatkan :
“Ndak perlu ada rasa dendam, anyel atau mangkel, tetep saja jalan seperti biasanya , selama tidak menyimpang, dan tetep dalam kebaikan yg diyakininya.
Beliau punya prinsip (sejak berkhidmah di Pondok Almukmin)..selalu berusaha di atas koredor jalan Nya, dan tidak akan “menghianati” perjuangan umat.
Yang penting diihtiyari dengan cara yg benar, lantas semuanya dipasrahkan kepada Nya..
Kalaupun ada ucapan, sikap, atau perlakuan yg kurang ramah dari siapapun (inheren dari muridnya) terhadap beliau…..
Tidak akan “menyurutkan sedetikpun” dalam berjuang lewat pendidikan pesantren yg ditekuninya sejak tahun 1973, selepas lulus dari pondok Darussalam Gontor Ponorogo.
(malah jadi “Rabuking Urip”, dan vitamin yg ngédap-édapi..).
Ketulusan, kepasrahan yg total seperti inilah yg diperlukan dalam berjuang, sehingga tetap eksis :
- Sendiri tetep semangat.
- Banyak orang juga semangat.
- Dilokké atau dikatain apapun (yg tak sedap..kayak masakan saja ?).. tetep semangat. Masya Allah.
Dan mbah Kumis merasakan sendiri apa yg beliau contohkan itu semua, dan adalah suatu keberkahan jika kita bisamenirunya.
(Insya Allah).
Kepada siapapun yg sowan untuk suatu keperluan ..beliau tetap tersenyum tanpa membeda-bedakan status atau golongan (selama dalam kontek kebaikan dan solusi umat)…bisa ditebak akan dilayaninya semua.
Termasuk kedatangan orang yg akan minta nasehat dan “diruqyah” (sekalipun non muslim) tetap dimanggakké, dan dilayani dengan tulus…
Dan tak pernah dilupakan ngiras-ngirus (sekalian) untaian nasehat lembut bisa dipastikan akan meluncur dari bibir beliau plus senyuman khasnya.
Beliau slalu menasehatkan untuk tidak “dendam”, atau iri yg tidak sehat,.. perjalanan waktu yg akan menjelaskan bahkan yg kita jalani tidak salah, tetep berpihak pada kebenaran dan umat.
Masih ingat “mahfudhot” yg dulu beliau ajarkan :
“Satubdii lakal ayyaam maa kunta jaahilan, wa ya’tiika bil ahbaar maa lam tuzawwid”.
Saya yakin antum semua sudah hafal di luar kepala, termasuk yg dulu ndak pernah hafal (karena di luar kepala mrucut kabèh ??).
Begini arti bebasnya :
Suatu hari nanti ..kalian akan menyadari bahwa kita ini jebulé (ternyata) belum punya BEKAL, tidak mudheng, atau belum tahu.
Yang memberi kabar siapa mbah ?
Ya perjalanan waktu itu sendiri.
Setelah kita banyak srawung, ketemu dengan banyak lapisan, mau ngaji lagi dengan lintas mazhab ..baru sadar (rasanya MALU), mengapa kita dulu mudah menjatuhkan vonis bahwa dia begini dan begitu…
Terlanjur ucapan tak sedap kita lontarkan kepada teman, saudara kita (yg jika dirasakan bikin ngenes, maka ndak usah disimpan, buang saja).
Mbah kumis yakin…beliau sangat pemaaf, tak pernah dendam, slalu menerima permohonan maaf, baik diminta atau tidak…Subhanalloh…
Secuil sikap yg diatas, bisa menjadi rabuk kehidupan, dan suplemen yg menyehatkan dalam meniti tugas kita masing-masing, dengan tetap menyadari plus minus kita.
Beliau sangat “respek dan memberikan acungan jempol” yg setingginya..jika santrinya lebih baik, berkwalitas dan lebih besar kiprahnya dalam perjuangan.
Coretan ini belum bisa diteruskan…karena masih “ngondhok-ondhok” atau terharu dengan cepatnya beliau kembali kepada Nya.
Dan betapa banyak keteladanan yg perlu untuk disimak dan ditiru.
(To be continued…).
Allohumma adhilhul jannata ma’al Abroor. Amin.
ASSALAMU’ALAIKA YA SYAIKHANA
Semoga keselamatan selalu untukmu wahai ustadz
Magelang, 4 Agustus 2019
Tepat setelah ashar, saat berita wafatnya Ust. Wahyudin saya terima melalui berbagai Group Whatsapp. Tidak perlu lama untuk kemudian memutuskan harus ke Solo untuk ikut menyalatkan beliau.
Ketika langkah kaki memasuki Masjid Baitussalam Ponpes Islam al-Mukmin Ngruki, segala cerita tentang beliau langsung terbayang cepat.
17 tahun lalu, jika dahulu beliau adalah orang yang berdiri terdepan dalam shalat jamaah di masjid ini sebagai imam. Tidak menyangka jika saat ini beliau lah yang terbaring di depan imam untuk dishalatkan.
Sambil menunggu jamaah kedua dalam shalat jenazah, masih terekam jelas dalam ingatan bagaimana karakter suara beliau yang dalam, membuat orang sangat mudah mengenalinya. Apalagi saat menjadi imam, beliau selalu menekankan huruf terakhir dalam setiap ayat yang dibacanya. Awal mendengarnya terasa aneh, tapi setelah 6 tahun menjadi santri beliau ternyata kami menikmati suaranya yang khas dan merindukannya setelah lama berpisah.
Dengan kewibawaannya ketika berbicara dan kedalaman dalam mentadabburi al-Quran, beliau yang saat itu menjabat menjadi Direktur pondok kerap dijadikan sebagai benteng terakhir jika ada di antara santri atau masyarakat yang ‘kesurupan’ diganggu setan. Setelah beberapa ustadz muda tidak berhasil menanganinya, tidak jarang para setan sudah menghilang bahkan ketika Ust Wahyudin berjalan mendekat ke arah kamar santri.
Di akhir mondok, saya bersama teman-teman pernah mendatang rumah beliau; menyatakan hendak mulazamah khusus mempelajari terutama tentang ruqyah dan beliau pun menyanggupinya. Tapi rencana ini tidak berjalan mulus mengingat kesibukan kami menyiapkan Ujian Nasional dan kesibukan beliau mengelola Pondok dan berbagai kegiatan lain.
Jika ditanya tentang apa pesan terdalam dari beliau selama mengajar, maka saya yakin semua yang pernah nyantri dengan beliau akan sepakat bahwa beliau berulang kali menjelaskan Surat al-Maidah (5) ayat 54.
Beliau ingin agar para santrinya menjadi kaum yang digambarkan pada ayat tersebut, mereka dicintai Allah dan mereka pun mencintai-Nya. Merekalah kaum yang bersikap hangat dengan sesama Mukmin dan tegas ketika berhadapan dengan orang-orang kafir. Kaum ini berjihad di jalan Allah dan tidak takut akan celaan siapapun yang mencela. Ust Wahyudin menyebut kaum ini sebagai ‘generasi 554`.
Rahimahullah rahmatan wasi’atan. Semoga Allah menempatkan beliau bersama orang-orang shalih di jannah.
Rafiq Jauhary
Santri beliau yang bandel
GEN PEJUANG
SANG PEJUANG itu telah pergi mendahului kita semua..
seluruh waktu dan hidupnya dihabiskan dalam perjuangan.
hasil perjuangan beliau telah nyata terhampar dihadapan kita.
darah juang dan jiwa pejuang beliau yang sangat menginspirasi saya…
saya selalu teringat kata kata beliau bahwa “kita adalah barisan para pejuang. daya juang santri dan alumni al mukmin ngruki diatas rata rata”.
dan kita semua santri beliau mewarisi GEN PEJUANG tersebut.
tetaplah berjuang kawan…dimanapun dan sampe kapanpun. karena itulah jalan hidup yang harus kita tempuh. dan karena itulah yang telah dicontohkan oleh guru guru kita.
Hormat kami untuk almarhum Ust. Wahyudin
anaskamaludin
Rakhmad Agung H.
Tangan dingin beliau menyelamatkan Ma’had dari kepunahan, tangan dingin beliau lahirlah Isy Karima, dari ribuan santri melahirkan puluhan lembaga yg dikelola alumni ngruki, dari puluhan lembaga menampung ratusan ribu siswa, santri dan para guru. Semoga menjadi Penerang di Alam Kubur, menjadi Jariah yg Tiada terputus hingga akhir zaman. Makkah, 5 Agustus 2019
SELAMAT JALAN PEJUANG
(sy buat tulisan ini dg deraian air mata)
Setiap ada seorang Ulama/pejuang yg dipanggil oleh Allah SWT seperti Almarhum KH Wahyudin (Pimpinan Ponpes Islam Almukmin yg sy kenal Tegar dalam menghadapi berbagai badai cobaan yg menerpa pondok yg dipimpinnya ini).
terbersitlah di hati sy…akankah ini Isyarat di angkatnya ilmu dari kita…? akankah ada pengganti seperti Beliau yg sudah menghadapNya ini.???
.kita hanya bisa berharap..berdo’a..semoga ada pengganti yg lebih baik setelah beliau..minimal “sama” seperti beliau..
Selamat Jalan Guruku..
Selamat Jalan pejuang..
semoga Allah mempertemukan kita kembali di SorgaNya kelak…😭😭
Bengkulu.05 Agustus 2019
Muridmu KMI Gd’94
Mulyadi
Akhirnya Jadi Santri Ngruki
Kenangan bersama Ustadz Wahyuddin Rohimahullah
1984-1985 adalah hal pahit dalam proses revolusi Aqidah pada diri ini. Saya ditolak jadi santri Ngruki padahal keinginan kuat untuk mendalami agama seperti orang yang kehausan butuh air minum di gurun tandus. Saya ingin hijrah !
Saat itu Ustadz Wahyuddin menjadi penguji psychotest yang menanyakan kesungguhan saya belajar agama. Sikap yang menggebu-gebu mungkin dirasa kurang kondusif saat itu jika diterima apalagi saya anak kolong (tentara). Ah, dengan hati kecewa dan langkah gontai saya tinggalkan Pondok idaman ini.
2 tahun berlalu saya kembali mendaftar dengan setengah hati karena pernah ditolak tapi dipaksa oleh saudara saya untuk ke Ngruki lagi. Ustadz Wahyuddin kembali menguji psychotest. Beliau bertanya : “Kenapa kamu daftar lagi ? kalau ditolak lagi, gimana ?” Dengan tegas saya jawab : “Saya tetap akan belajar agama di tempat lain !” Beliau melihat saya dengan tatapan teduh tak terlupakan.
Beberapa hari sesudahnya saya terkejut mendapat surat bahwa saya diterima di saat saya mempersiapkan diri berangkat ke Pondok lain.
Saya menanyakan kepada beliau, kenapa saya di terima, beliau menjawab : “Karena ternyata kamu sungguh sungguh mau belajar, maka belajarlah disini.”
Ternyata itulah takdir Allah yang berliku atas diri ini menjadi muridnya dan juga akhirnya beliau menjadi wasilah saya mendapatkan nishfud dien menikah dengan Uminya anak anakku hari ini.
Ustadzi, saya nggak akan melupakan tatapanmu dulu, juga kesungguhanmu untuk kami semua murid muridmu karena nasihatmu bahwa keputusan Allah di atas segalanya. Maka dengan hati bergemuruh kami lepas keberangkatanmu memenuhi panggilan Allah, Sang Maha Kuasa.
Semoga kelak kita dipertemukan kembali dalam keridloan-Nya di Jannah.
Kami akan terus berjuang untuk tegaknya Islam di muka bumi, Ustadzi ! Mimpimu yang pernah terucap di Darul Ulum yang kini menjadi halaman yang luas, seluas harapanmu kepada kita semua.
Jazakumullahu Khoiron atas jerih payahmu mendidik kami di jalan Allah, Ustadzi. Ustadz kita sampai kapanpun !
KA Jayabaya
Road to Sentul IU 4
Ahad, 3 Dzulhijjah 1440 H.
4 Agustus 2019
الفقير إلى مغفرة ربه
Azhari Dipo Kusumo
TERLAMBAT MENGENAL GURU
Mungkin saya salah satu murid yang terlambat mengenal guru. Baru beberapa tahun terakhir saya mendengar sebagian gagasan dan pengalaman ustadz K.H. Wahyudin. Dan kini beliau telah tiada.
Saat menginjakkan kaki pertama kali di Pondok Ngruki, saya mengira beliau Kiai Pondok Ngruki. Dalam benak saya, di setiap pondok pastilah ada kiainya. Dan Ust. Wahyudin yang rutin menjadi imam rawatib di masjid pondok tampaknya yang paling pantas diduga sebagai kiainya. Apalagi, wajahnya cukup berwibawa dengan jenggot dan cambang lebat.
“Kiai Pondok Ngruki ternyata seperti Oma Irama,” kataku sambil tersenyum dalam hati. Maksud saya adalah Rhoma Irama sang Raja Dangdut yang terkenal itu. Dalam pikiran saya yang lugu ketika itu, setiap orang yang brewokan itu mirip Oma. 😅
Suara tilawahnya di shalat-shalat jahriyah terdengar besar, menggelegar, ngebas, tapi empuk dan merdu memberikan kesan mendalam pada para santri, termasuk saya. Suatu hari, saya terhanyut oleh alunan suara beliau membaca salah satu surah Al-Qur’an. Seingat saya, beliau saat itu membaca surat Al-Qiyamah di juz 29.
Lagi-lagi, di zaman itu, imam shalat membaca juz 29 itu “sesuatu banget” bagi saya. Apalagi dengan alunan mendayu-dayu seperti suara beliau. Dulu, belum banyak pondok tahfizh seperti sekarang. Apalagi SD, SMP, atau SMA tahfizh. Pernahkah kami mendengar bacaan Syaikh Al-Matrud, Sudais, atau Syuraim? Apalagi Syaikh Musyari, Hani’ Rifai, dan Bandar Balila?
Jangan tanyakan itu. Di kampung saya, imam rawatib membaca surah Adh-Dhuha di shalat Subuh itu sudah lama banget. Itu pun tak jarang membaca huruf ha’ dengan kaf. Huruf ‘ain dengan ngain. Mereka membaca ” rabbil ngalamin” bukan ” rabbil ‘alamin“.
Lebih enam tahun nyantri, plus setahun wiyata bakti di pondok, saya tidak mengenal Ustadz Wahyudin selain sebagai imam rawatib, direktur pondok, dan guru bahasa Arab yang mengajar balaghah dan alfiyah, kadang-kadang dengan mata merem tanpa melihat kitab. Apa saja ide-ide, pandangan-pandangan, dan sikap-sikap beliau terhadap berbagai hal tidak pernah saya dengar. Mungkin karena penampilan beliau yang low profile dan sedikit bicara. Atau sebagai murid saya kurang proaktif menggali ilmu dan pemikiran dari para guru, termasuk Ust. Wahyudin.
Masih ingat, saat saya melihat beliau, di usia tidak muda menaiki sepeda motor sambil mengangkat kayu. Masyaallah !
Masih ingat saya, saat beliau bercerita, bagaimana beliau berpindah-pindah rumah setiap istri beliau melahirkan.
“Kamu itu kayak kucing!” beliau menirukan komentar kerabatnya. “Setiap punya anak selalu pindah rumah,” katanya sambil tersenyum tipis.
Di antara sedikit yang saya ingat, beliau pernah berkomentar tentang saya, “Hawin ini sebenarnya belum waktunya menjadi direktur pondok,” begitu kata beliau di sebuah perjalanan dengan mobil pondok. Kebetulan, saat itu saya dipaksa jadi mudir MADW. “Seorang direktur perlu punya pengalaman menjadi kepala bagian di bawahnya.” Menurut beliau, sebelum menjabat direktur pondok, seseorang harus merasakan jadi kepala kesatrian, kepala sekolah, ketua bidang kurikulum, bahkan ketua bidang logistik dan dapur. Supaya dia memahami seluk-beluk pekerjaan anak buahnya.
Saya jadi ingat, bagaimana para ustadz di pondok Ngruki sering gonta-ganti jabatan. Mungkin itu menjadi cara beliau untuk menyiapkan kader. Terlebih, memang tidak ada sekolah khusus untuk calon direktur pondok. Sebagian besar pimpinan pondok alumni setahu saya memang belajar memimpin pondok langsung dari pengalaman. Tidak ada sekolah untuk menjadi direktur pondok. Adanya Kulliyatul Muallimin, sekolah untuk calon guru pondok.
Hal lain yang saya pelajari beberapa tahun terakhir adalah bagaimana seorang dai berpikir dengan orientasi keumatan, bukan kelompok minded. Bagaimana bergaul dengan banyak kalangan, bukan membatasi diri kepada teman satu kelompok. Juga bagaimana tetap bersikap santun, meski berhadapan dengan orang yang memusuhi kita.
“Saya tidak ingin memperuncing masalah dengan membalas siapa yang menyerang kita. Waktu juga pada akhirnya yang akan menjelaskan keadaan sesungguhnya,” kata beliau suatu kali.
Duh, setiap kali mendengar cerita beliau, saya merasa terlambat mengenalnya. Dan kini beliau sudah menghadap Rabbnya. Tentunya Ustadz Wahyudin bukan seorang sempurna. Seperti umumnya manusia, juga guru kita, beliau tak luput dari kekurangan dan kesalahan. Sebagai murid, kita perlu bersikap, ” Mikul dhuwur mendhem jero!”
Semoga Allah menerima amal shalihnya, mengampunkan dosanya, serta menjadikan murid-muridnya sebagai pelanjut cita-cita dan perjuangannya.
Rahimahullah rahmatan waasi’ah. Wa askanahu fasiiha jannatihi. Innahu waliyyu dzalika wal qaadiru ‘alaihi. Semoga Allah memberikan kasih sayang-Nya yang luas kepada beliau. Menempatkannya di surga yang luas. Hanya Allah yang berwenang dan berkuasa atas hal itu.
Aamiin.
Hawin Murtadlo Bukhori
Aku Jatuh Cinta Karenamu
Tak sempat saya tuliskan sesuatu tentangmu. Sore ini ku temui semua informasi teman² berisi dukacita. Engkau telah tiada Sang Khaliq memanggilmu lebih cepat dari yang kami kira. Kau telah beri kabar pada mereka sebelum ku beri mereka kabar tentangmu di hidupku.
Aku jatuh cinta karenamu, Tadz…
Saat kau ajak aku mengenal sesuatu, waktu itu aku sungguh tertarik dan akhirnya jatuh cinta.
Kau yang mengenalkanku pada tasybih, menjelaskanku tentang majaz, dan menuntunku memahami kinayah. Tak hanya itu, kau pun membimbingku pada titian kalam khabar dan kalam insya, sampai pada memahamkan bagaimana bertutur ringkas, proporsional, dan berpanjanglebar. Lalu kaupun memanjakan dalam lantunan melodi wacana indah. Mengikat semua dalam muhassinat lafzhiyyah dan ma’nawiyyah. Itu semua karenamu Tadz…
Kau bagikan semua ilmu itu padaku dan teman²ku. Menyimak seluruh ucapmu dengan khasmu yg berat dan kharismatik. Satu hal yang mengherankanku dan teman² ketika kau bagikan ilmu itu, sama sekali kau jarang menatapku dan teman². Kau ajarkan semua padaku dan teman² dengan mata terpejam, seolah isi buku yg terbuka di depanmu sudah ada dalam otakmu. Tak pernah ada kata negatif, tak pernah ada intonasi nada tinggi. Aku larut dalam semua irama bass yang tertutur dari lisanmu.
Sayang ku tak sempat berkabar padamu jika beberapa lembaran penting kehidupanku bertahtakan dan menyematkan nama serta jasamu. Saat kuselesaikan sarjana ku tertarik menuturkan sajak dalam jua ‘amma. Dan kini, ketika ku sedang menyelesaikan studi terakhir, kutuliskan kembali penggalan ilmu dan percikan pengetahuanmu padaku.
Kini kau telah tinggalkan dunia fana ini. Namun ilmumu di hatiku akan tetap abadi. Doaku semoga kau dikumpulkanNYA bersama para shalihin.
Aamiin…
Ade Kartini, Singaparna,
Harusnya salat kali ini aku bahagia.
Saat kembali merasakan salat di masjid pondok yang fenomenal. Kembali terkenang masa dimana shaf salat terjaga, rapat. Hening salat yang kemudian ditingkah batuk sahut menyahut. Musim panas telah datang dan aku yakin para santri senang menggelontorkan es ke keringnya tenggorokan. Persis sama seperti kami puluhan tahun lalu.
Akhirnya, kami pun merasakan kembali tergugu bersama dalam salat saat imam berhenti di ayat
يآأيتها النفس المطمئنة…إرجعي الي ربك راضية مرضية
Semua dada terasa sesak melepas sumber ilmu kami.
فادخلي في عبادي وادخلي جنتي
Dan runtuhlah semua yang harus keluar.. menyadari takdir Allah lebih baik.
Jangan bosan baca status saya hari ini, jika dirasa lebay…skip aja.
Saya hanya ingin merenung..
Apakah yang akan saya bawa nanti?
Sebanyak apa doa yang saya terima jika saya tiada…
Aahhh, iri rasanya melihat kecintaan ribuan murid yang pernah mencecap ilmu darimu, ustadz…
Mereka yang kemudian menggurita membangun pesantren di berbagai pelosok Nusantara. Semua pahala ilmu itu akan terus menerus berpulang padamu.
Aku?
Hanya mampu berbagi kisah, betapa indah kau lukis warna di hidup kami…
Lillah Nurul Fadhilah
💐He wasn’t only my teacher…
32 tahun lalu, jembatan pringgolayan menjadi saksi dua anak manusia yang menangis karena rindu. Terpisah jarak dengan orang tua dan keluarga, terasing di tempat yang bahasanya saja mereka tak mengerti.
Setumpuk perangko bergambar Bapak Pembangunan, kertas surat dan amplop menjadi bekal paling berharga untukku dari bapak. Tanpa lelah, kuayunkan pena di atas kertas surat setiap hari untuk bapak. Kuluahkan semua rasa di hati berharap akan melegakan.
Hingga satu senja, saat salat berjamaah di masjid pondok, tetiba air mata berlomba lari keluar. Satu suara yang begitu kurindukan, lantang membaca surat-surat dalam salat magrib kala itu. Suaranya yang dalam dan irama bacaan, mengingatkanku pada bapak di rumah. Seketika merindu…
Selepas salat, aku tanya kepada salah satu kakak kelas, siapa imam salat tadi. Beliau menjawab,”Ustadz Wahyudin, mudir pondok.”
Rasa penasaran menyeruak. Apalagi saat aku tahu rupanya beliau pun asli Ciamis seperti bapak, bisa jadi itu yang menyebabkan nada dan tekanan suara menjadi mirip.
Maka waktu-waktu salat menjadi penantian indah bagiku.
Ditambah lagi dengan cerita-cerita kakak kelas tentang kisah cinta beliau yang luar biasa, tersimpan nilai ketaatan melebihi kemauan hati.
Harus bersabar beberapa tahun sebelum akhirnya merasakan diajar beliau dalam kelas. Balaghoh adalah mata pelajaran pertama beliau di kelas kami. Gayanya yang khas saat mengajar, tulisan beliau yang rapi ditambah contoh-contoh kalimat yang mengena bagi kami, membuat pelajaran ini terasa menyenangkan.
“Nurul ka al-babgho”
Nurul seperti burung beo 🙃🤭
Begitu di antaranya beliau mencontohkan majaz dalam bahasa Arab.
Alhamdulillah sampai kelas akhir beliau selalu ada di kelas kami. Bahkan beberapa kali beliau memintaku ngoreksi hasil ujian teman-teman seangkatan, yang muallimat maupun muallimin ☺️
Posisi beliau sebagai Mudir untuk sekian lama, aku pikir bukan hanya karena beliau menantu pendiri pondok, tetapi karena kecerdasan beliau. Menyitir cerita ustadz Ibnu Chanifah, rupanya beberapa kali beliau berkesempatan kuliah ke LN, namun selalu diurungkan dengan alasan pondok kekurangan tenaga guru. Masyaallah…cintanya pada pondok dan santri-santrinya, membuat beliau kembali mengalahkan maunya.
Sejak dulu hingga kini, setiap ada kesempatan bertemu, beliau selalu bilang kepadaku di depan yang lain,”Ini anak Ustadz.”
Bangga?
Pasti!
Mudah2an kesalihan dan kecerdasan beliau juga menurun kepadaku, aammiin….
Jadi jika kini beliau terbaring sakit karena penyakit tua yang menggerogoti, hatiku pun serasa tersayat. Ustadz yang tak pernah luput kusambangi jika aku ke pondok karena rindu nasehatnya.
Kuat ya ustadz…
Lihat antrean muridmu yang setia menemani juga ribuan muridmu di seluruh dunia yang senantiasa mendoakan.
اللهم رب الناس اذهب البأس إشف أستاذنا
أنت الشافي لا شفاء الا شفائك شفاء لا يغادر سقما
آمين يارب العالمين
.
SANG PENYEMANGAT
Oleh : Taufan Iswandi, M.S.I
Wakil Panglima Laskar Mujahidin
Tahun 1997, saat pertama kali menginjakkan kaki ke pesantren al mukmin ini, yang pertama kali di ajak berkunjung ke rumah beliau oleh paman ana yang kebetulan teman ust wahyuddin allohu yarham.
Kalimat yang pertama keluar dari lisan beliau dan sampai hari ini saya pegang adalah anakku ”Bersemangatlah” kalimat sederhana namun sangat berkesan begitu mendalam di hati ini.
Pada tahun 1999-2001 banyak sekali kejadian yang kita alami di pesantren, dari membasmi kemaksiatan, sampai menjaga pesantren dari ancaman dukun santet, selalu kalimat itu yang beliau ucapkan kepada ana “semangat” dengan senyumnya yang Khas.
Kini SANG PENYEMANGAT itu telah pulang kembali dalam dekapan sang illahi.
ada kesedihan tak sempat menjenguk di kala sakit beliau.Dan tak sempat menghantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir beliau.
Maafkan kami guruku. Kalimat itu terakhir ku dengar saat pertengahan 2015 ketika pulang dari suriah. Beliau hanya tersenyum dan mengucapkan kalimat yang sama, taufan tetap “semangat” ya.
Ana bersaksi, bahwa beliau orang yang shalih dan baik, selalu menyemangati kami ana khususnya, walau di kelas ngantuk-an dan tak pernah dapat nilai tinggi di pelajaran beliau. Allohu Akbar.. semoga keluarga yang di tinggalkan dikuatkan kesabaran karena di tinggal orang yang sangat luar biasa.
Hormat kami untuk almarhum KH. Wahyudin, bapak kami dan guru terbaik kami.
Santri Beliau
Taufan Iswandi, M.S.I
Wakil Panglima Laskar Mujahidin
Ustadz-ku, Motivator-ku
Beliau bukan hanya sekedar Ustaz
yang dulu pernah membimbingku
bersama para santriwati dan santriwan lain di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Solo.
Beliau juga bukan hanya sekedar menantu pendiri ponpes Ngruki yang pernah menjadi direktur dan ketua Yayasan Pendidikan Islam dan Asuhan Yatim (YPIA) di sana.
Lebih dari itu semua, beliaulah Ustaz KH Wahyudin, sosok yang telah memotivasi, memberiku rasa percaya diri dan mendukungku selama empat tahun mondok di sana.
Sehingga aku tak hanya berhasil melewati masa-masa kritis pubertas, namun juga mampu mambuktikan bahwa tak ada yang mustahil untuk meraih prestasi meskipun belajar dari nol.
Kesabarannya dalam mengajar, kefasihannya melantunkan ayat-ayat Al Qur’an ketika menjadi imam shalat, serta kebijaksanaannya terhadap segala perbedaan, kelebihan dan kekurangan yang dimiliki para santrinya, membuatku merasa nyaman dan diterima dengan baik sebagai bagian dari keluarga besar pesantren ini. Selain itu, menyadarkanku betapa luas dan indahnya ajaran Islam.
Sore ini, aku dikejutkan oleh berita yang tersiar di grup WA dan dan di FB. Bahwa pada jam 15.35 WIB, di RS PKU Surakarta, beliau telah berpulang ke hadirat-Nya. 😭😭😭
Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu ‘anhu.
Ya Allah ampunilah semua dosanya. Terimalah semua ibadah dan amal shalihnya. Wafatkanlah beliau dengan husnul khatimah. Berilah kesabaran pada keluarga yang ditinggalkan. Dan mampukan kami mengamalkan ilmu yang telah beliau ajarkan. Allahumma aamiin… 🙏🙏🙏
Masih teringat, terakhir kali perjumpaanku dengan beliau saat menyampaikan Kata Pengantar untuk bukuku yang berjudul “Penjara Suci”, tepatnya di tanggal 5 Juli 2018.
Sebelumnya aku pernah bersilaturahmi ke rumah beliau saat ada acara keluarga pada tahun 2010 di Solo dan saat Reuni Akbar Alumni Ngruki pada tahun 2016. Kharisma beliau yang tak pernah pudar membuatku selalu teringat akan pesan-pesan positif dan motivasinya.
Aku menyesal belum sempat membesuknya saat beliau sakit dan tidak bisa ikut bertakziyah di akhir hayat beliau 😭😭😭
Hanya doa-doa yang bisa kukirimkan untuk beliau. Semoga doa-doa kami sebagai murid-muridnya, bisa menjadi pelapang dan penerang kuburnya. Aamiin… 🙏🙏🙏
Irma Anggraini Adi
(Santriwati lulusan tahun 1988)
Muqadimah ceramah ust Wahyuddin
Oleh: Muh. Nursalim Alumni 1992, Majelis Fatwa MUI Sragen
Setiap santri punya kesan tersendiri. Sesuai dari sudut pandangnya. Juga pengalaman berinteraski dengan beliau. Santri yang suka seni pasti sangat tertarik dengan suara beliau. Terutama ketika menjadi imam sholat jahr. Yang gandem dan ngebas. Bahkan bacaannya lebih mantab daripada suara imam masjid haram, yang di musim haji ini sering memimpin sholat subuh.
Suara emas beliau, juga membawanya jadi penikmat gambus. Dan ini, ternyata diikuti oleh salah satu putranya sebagai personil kelompok nasyid zuhruf.
Ketika ramai di media, peristiwa istisyhad Asmar Latinsani. “Saya ingat nama itu, dia pernah nyantri di sini. Karena namanya seperti judul qasidah”. Komentar ustadz, saat diwawancarai sebuah media.
Bila penasaran tentang qasidah ini, bisa dibuka di youtube. Gambus lawas yang dinyanyikan Rafiqoh Darto Wahab. Berikut sebagian liriknya.
Ana bahwa kiya asmar latin sani
Waruhi ma ‘akwa albi ma’ah sani
Ana bahwa kiya asmar latin sani
Waruhi ma ‘akwa albi ma’ah sani
Iya asmar latin sani
Iya asmar latinsani…
Santri yang suka ruqyah, mungkin juga terinspirasi dengan keahlian beliau. Dalam hal meruqyah. Sampai ada yang cerita, belum diruqyah saja. Saat mendengar nama beliau disebut, pasien sudah sembuh.
Pegiat haji perlu mengerti. Bahwa beliau pernah diundang khusus raja Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Panggilan tersebut diperuntukkan kepada orang-orang yang berjasa dalam dakwah dan perjuangan Islam, di suluruh dunia. Dan ustadz Wahyudin salah satu diantaranya.
Yang suka bahasa. Pasti juga sangat kagum dengan kemampuan beliau dalam menguasai bahasa Arab. Beliau hafal alfiah, padahal di Gontor tidak diajarkan kitab tersebut. Mungkin beliau sudah hafal alfiah sebelum nyantri di Gontor.
Tahun 80 an di pondok almukmin ada tambahan pelajaran. Memperdalam kitab kuning. Agar alumninya lancar membaca kitab. Suatu hari, setelah sholat maghrib. Terdengar pengumuman dari masjid. “Al ‘Ilan, ‘ala sairi tullab lil fashli tsalits lit takhasusi ‘alaihim bi sorogan fi daril ulum (pengumuman, kepada santri kelas tiga takhasus agar ngaji sorogan di darul ulum)”. Dan gurunya adalah ust. Wahyudin.
Beliau mahir banget ngaji kitab secara gandulan. Utawi iki iku kitab mertelaake bab taharah… Tentu pakai bahasa melayu dan campur sunda. Ada kelucuan ada kekaguman, saat baca kitab model pesantren salaf itu.
Bagi yang suka bisnis. Ust. Wahyudin juga teladan yang paling riel. Dengan pabrik kerupuknya, yang bukan hanya untuk internal pesantren. Tetapi juga dipasarkan buat masyarakat sekitar pondok. Meskipun sekarang mungkin sudah tidak lagi produksi, namun laku bisnisnya cukup menjadi inspirasi para santri.
Tetapi maaf, ada santri yang suka nyijar. Sampai out dari pondok juga masih nyijar. Bergabung dengan jamaah di luar juga tetap nyijar. Ketika ditanya, “Kok ente nyijar ?”. “Lha, hadza lazid je. Ust. Wahyuddin juga nyijar”.
Fragmen keunikan dan kelebihan beliau, mungkin tidak selesai ditulis dalam tujuh hari tujuh malam. Rentang waktu yang begitu panjang di Pesantren AL Mukmin. Dan di tengah-tengah pergerakan umat Islam di Surakarta dan nusantara tidak terkira banyaknya.
Diantara sejumlah fragmen itu. Saya tertarik dengan muqadimah ceramah, yang setiap kali pidato hampir pasti beliau kutib. Yaitu sebuah hadis berikut ini.
مُعَاوِيَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لاَ يَزَالُ مِنْ أُمَّتِى أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللَّهِ ، لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ
Muawiyah ra berkata, aku mendengar Nabi saw bersabda, “Di antara umatku akan selalu ada sekelompok orang yang selalu menegakkan perintah Allah. Mereka tidak terpengaruh dengan pihak-pihak yang menghalangi juga yang menentang sampai Allah memberi keputusan, dan mereka tetap kukuh pada perjuangannya.” (HR. Bukhari)
Secara operasional, sabda Nabi tersebut dirangkum dalam satu kalimat pendek. Yang beliau juga sering sampaikan, “Kita tidak pernah mengkhianati perjuangan”.
Memperjuangkan apa dan bagaimana caranya. Santri dan kaum muslimin menjadi saksi apa yang telah beliau lakukan.
Muqadimah tersebut semakin kenceng ditekan. Ketika mengisi forum-forum alumni. Agar santri yang sudah lama meninggalkan pesantren tetap istiqamah. Dalam berislam dan perjuangan. Qif duna ra’yika fil hayati mujahidan innal hayata ‘aqidatun waljihad (berdirilah tegak untuk mejadi pejuang, sebab hidup hanya bermakna jika diisi dengan aqidah yang benar dan perjuangan).
Ustadz sangat khawatir dengan ancaman Allah dalam surat al maidah: 54 akan menimpa santri-santrinya.
Wahai orang-orang yang beriman. Barang siapa diantara kamu yang murtad, keluar dari agamanya. Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum. Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya. dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras kepada orang-orang kafir. Yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki. Dan Allah maha halus pemberiannya lagi Maha Mengetahui.
Beliau tidak pernah futur. Meskipun dalam situasi dan kondisi yang sangat sulit sekalipun. Sulit bagi dirinya, keluarganya juga pesantren yang beliau nakodai. Beliau selalu tersenyum meskipun getir.
Selamat jalan ustadz. Semoga engkau telah mendapatkan apa yang dijanjikan Rasulullah saw diperistirahatanmu. Kasur dari surga, pakaian dari surga, harum wangi surga dan kelapangan kubur sepanjang mata memandang.
Wallahu’alam