in , ,

Sebagian Manakib Beliau Ustadz Wahyudin

Secercah yang bisa dijadikan “tepo palupi” atau uswah… In memoriem

Oleh : Ust. Mualif Rosyidi
Sekretaris Yayasan Al Mukmin Ngruki

MENGGALI LAGI NASEHAT BELIAU?

Ust Wahyudin (rahimahullah)

(agar santri mandiri ..serial manakib).

Dari raut wajahnya.. tampak sumringah sekali, dan berbinar bangga saat beliau menceritakan kepada mbah Kumis bahwa :

Salah satu santrinya di pondok pesantren, yg dulu diasuhnya..kini maju usahanya, sukses sebagai “petani kopi, coklat” (ndak nyangka dia sekarang sukses).

Tetapi ada yg istimewa : Masih setia menyambung komunikasi dan silaturahmi dengan beliau, bahkan berkonsultasi tentang hal ihwal yg dihadapinya.

Dan tetap menjunjung tinggi semangat berjuang untuk memajukan “syi’ar agama” di non jauh di sana, di luar Jawa.

(sebagaimana yg slalu diberikan “tasyji’ atau dorongan untuk berdakwah kapan dan dimanapun).

Beliau selalu menekankan bahwa santri itu harus mandiri, dan tidak boleh tergantung pada belas kasihan orang lain.

(berarti jual “emas”…mas nyuwun mas.?, atau bakulan “semangka”…alias mung “glundhang glundhung” ora nyambut gawé ?).

Cocok dengan pesan Nabi :
“Wa laa takuunu KALLAN alannaas…”.
Yang artinya : Jangan sekali-kali kalian menjadi bebannya orang lain.

Maka “kemandirian” (seperti motto pesantren), dan mampu produktif dengan usahanya sendiri..slalu beliau tekankan agar para santri tidak menggantungkan pada orang lain.

Istilah populernya (kayak yg jadi sasaran pendidikan pesantren) adalah QODIRUN ‘ALAL KASBI, yg terjemahan bebasnya : mampu menciptakan pekerjaan sendiri.

Ndak usah malu harus bekerja kasar, kalau disitu dia memperoleh keberkahan (karena halalnya), seperti yg beliau pesankan bahwa amal itu akan dinilai, berkwalitas di sisi Nya jika :

Niatnya benar,.. caranya juga benar (tidak ngawur),.. ada pengorbanan dalam melakukannya, dan yg terakhir… ada tingkat manfaat yg ditebarkannya.

Ndak heran saat di pesantren (seperti rata-rata pesantren lainnya), para santri sudah harus menyelesaikan semua urusan atau keperluannya sendiri.

(mandi.. mandi sendiri, cuci baju sendiri…dst…kayak lagunya Caca Handika “angka satu” saja ?).

Beliau sangat senang sekali jika santrinya yg sudah lulus ..bisa menyempatkan diri silaturahmi ke pesantren sebagai almamaternya.

Mau berkunjung kepada para gurunya (termasuk mereka yg sudah SUKSES), untuk berbagi informasi tentang kiprahnya di masyarakat.. dan itu sangat membahagiakan beliau.

Perlu diketahui lur..bahwa “membahagiakan” ortu dan guru itu tidak harus dengan materi, tetapi critamu yg baik, kiprahmu yg bermanfaat, kegigihanmu dalam berjuang menegakkan kebenaran.

Pula kesetiaanmu kepada keluarga, suksesnya anakmu (dalam kontek kebaikan)..semuanya bisa NYUWARGAKKÉ atau membahagiakan hati ortu dan gurumu.

Seperti yg sudah disenggol di atas, maka beliau tampak sumringah, dan berbunga hatinya saat menceritakan kesuksesan santrinya yg dulu diasuhnya…Masya Allah

Gembirakan hati ortu dan gurumu dengan kisah yg baik darimu, tentang kesungguhanmu berkhidmah di masyarakat, dan suksesmu mendidik putra putrimu sesuai dengan koredor agama dan lainnya yg baik-baik.

Jangan hanya yg SENEP-SENEP, yg mengenaskan saja dicritakan, tetapi kalau untung , usahanya berhasil…malah ditutupi, atau terkesan disembunyikan (?).

Beliau slalu pesan : Sempatkan untuk mampir, silaturahmi ke pesantren, bertemu dengan pengasuh , dan ikut (seberapanya) berkontribusi untuk kebaikan pesantren.

Rasanya CLES, dan NYES jika mendengar kesuksesan mantan santrinya, meskipun dulunya jadi saudaranya DORAIMON…doracetho, doranggenah, dan dosak karepe dhewe (?).

Oke ..dilanjut lain waktu…

Allohummaj’alhu minal Abroor. Amin.

Mungkin yg mbah Kumis akan andharaken atau coretkan dari “tepo palupi”, yg bisa dicontoh dari beliau (Ust.Wahyuddin.. Allohu yarhamuh) kali ini adalah :

Yang “ringan-ringan” (karena sisi lainnya sudah banyak ditulis) tentang keseharian beliau, mengingat mbah Kumis cukup lama bergaul dan ikut membantu beliau dalam melaksanakan tugas.

Lur..saat ditanya tentang “kiat” agar hati tetep “nyaman”, eksis dalam melakukan tugas, dan tak merasa “terusik” (meski harus “ngelus dada”), karena ada perlakuan atau sikap yg tak ramah kepada beliau (?).

Ini yg menarik, namun prakteknya ndak gampang, perlu hati yg MENEP, sehingga semuanya tetep “well”, jadi energi, dan refleksinya dalam perbuatan nyata akan lebih elok, berkualitas dan berkah.

(“MENEP”..istilah Jawa, kalau dilustrasikan : kayak mubal-mubalnya air yg keluar dari sumber,.. mungkin masih campur kapur atau kotoran daun, kemudian mengendap, maka tinggallah airnya yg BENING dan menyehatkan yg siap diminum, namun butuh waktu…).

Dari jawaban beliau , dapat diistimbatkan :

“Ndak perlu ada rasa dendam, anyel atau mangkel, tetep saja jalan seperti biasanya , selama tidak menyimpang, dan tetep dalam kebaikan yg diyakininya.

Beliau punya prinsip (sejak berkhidmah di Pondok Almukmin)..selalu berusaha di atas koredor jalan Nya, dan tidak akan “menghianati” perjuangan umat.

Yang penting diihtiyari dengan cara yg benar, lantas semuanya dipasrahkan kepada Nya..
Kalaupun ada ucapan, sikap, atau perlakuan yg kurang ramah dari siapapun (inheren dari muridnya) terhadap beliau…..

Tidak akan “menyurutkan sedetikpun” dalam berjuang lewat pendidikan pesantren yg ditekuninya sejak tahun 1973, selepas lulus dari pondok Darussalam Gontor Ponorogo.

(malah jadi “Rabuking Urip”, dan vitamin yg ngédap-édapi..).

Ketulusan, kepasrahan yg total seperti inilah yg diperlukan dalam berjuang, sehingga tetap eksis :

  • Sendiri tetep semangat.
  • Banyak orang juga semangat.
  • Dilokké atau dikatain apapun (yg tak sedap..kayak masakan saja ?).. tetep semangat. Masya Allah.

Dan mbah Kumis merasakan sendiri apa yg beliau contohkan itu semua, dan adalah suatu keberkahan jika kita bisamenirunya.
(Insya Allah).

Kepada siapapun yg sowan untuk suatu keperluan ..beliau tetap tersenyum tanpa membeda-bedakan status atau golongan (selama dalam kontek kebaikan dan solusi umat)…bisa ditebak akan dilayaninya semua.

Termasuk kedatangan orang yg akan minta nasehat dan “diruqyah” (sekalipun non muslim) tetap dimanggakké, dan dilayani dengan tulus…

Dan tak pernah dilupakan ngiras-ngirus (sekalian) untaian nasehat lembut bisa dipastikan akan meluncur dari bibir beliau plus senyuman khasnya.

Beliau slalu menasehatkan untuk tidak “dendam”, atau iri yg tidak sehat,.. perjalanan waktu yg akan menjelaskan bahkan yg kita jalani tidak salah, tetep berpihak pada kebenaran dan umat.

Masih ingat “mahfudhot” yg dulu beliau ajarkan :

“Satubdii lakal ayyaam maa kunta jaahilan, wa ya’tiika bil ahbaar maa lam tuzawwid”.

Saya yakin antum semua sudah hafal di luar kepala, termasuk yg dulu ndak pernah hafal (karena di luar kepala mrucut kabèh ??).

Begini arti bebasnya :

Suatu hari nanti ..kalian akan menyadari bahwa kita ini jebulé (ternyata) belum punya BEKAL, tidak mudheng, atau belum tahu.
Yang memberi kabar siapa mbah ?
Ya perjalanan waktu itu sendiri.

Setelah kita banyak srawung, ketemu dengan banyak lapisan, mau ngaji lagi dengan lintas mazhab ..baru sadar (rasanya MALU), mengapa kita dulu mudah menjatuhkan vonis bahwa dia begini dan begitu…

Terlanjur ucapan tak sedap kita lontarkan kepada teman, saudara kita (yg jika dirasakan bikin ngenes, maka ndak usah disimpan, buang saja).

Mbah kumis yakin…beliau sangat pemaaf, tak pernah dendam, slalu menerima permohonan maaf, baik diminta atau tidak…Subhanalloh…

Secuil sikap yg diatas, bisa menjadi rabuk kehidupan, dan suplemen yg menyehatkan dalam meniti tugas kita masing-masing, dengan tetap menyadari plus minus kita.

Beliau sangat “respek dan memberikan acungan jempol” yg setingginya..jika santrinya lebih baik, berkwalitas dan lebih besar kiprahnya dalam perjuangan.

Coretan ini belum bisa diteruskan…karena masih “ngondhok-ondhok” atau terharu dengan cepatnya beliau kembali kepada Nya.

Dan betapa banyak keteladanan yg perlu untuk disimak dan ditiru.
(To be continued…).

Allohumma adhilhul jannata ma’al Abroor. Amin.

Alloh SWT Lebih Sayang Ustadz Wahyudin

Assalamu’alaika Ya Syaikhana, Semoga Keselamatan Selalu Untukmu Wahai Ustadz