Oleh: DR. Muh. Nursalim
(Dewan Pakar Ikappim, Alumni Ngruki & Dewan Fatwa MUI Sragen)
Seorang pemabuk ditangkap polisi. Setelah diadili dan terbukti. Ia dihukum cambuk di muka umum. Empat puluh kali. Yang menjual minuman keras juga ditangkap. Tetapi tidak dihukum cambuk. Karena ia non muslim. Kepadanya diterapkan hukuman sesuai dengan KUHP.
Yang menarik penjual itu minta dihukum sesuai syariah. Pertimbangannya sederhana. Bila dipenjara dia tidak bisa mencari nafkah untuk keluarganya. Polisi bersukukuh, tidak bisa. Karena syariah hanya untuk warga muslim. Penjual khamr itu kemudian masuk Islam, agar dihukum sama dengan yang muslim. Kata polisi tetap tidak bisa. Karena hukum itu menganut tempus delicty, yaitu waktu kajadiannya ia belum muslim.
Itu terjadi di Aceh. Daerah khusus yang diberi wewenang menjalankan syariah Islam. Di sana ada qonun. Sejenis perda yang isinya tentang ketentuan hukum syariah.
Hukuman syariah untuk pemabuk adalah cambuk empat puluh kali sebagaimana sabda Nabi.
Dari Anas bin Malik ra. berkata, bahwasanya Rasulullah saw telah mencambuk orang yang minum-minuman keras dengan dua pelepah kurma, empat puluh kali (HR. Muslim)
Aceh itu bagian dari NKRI. Hukum syariah bisa diterapkan. Di sana konstitusinya juga UUD 1945. Dasar negaranya juga Pancasila. Benderanya sama dengan Jawa. Merah putih. Lagu kebangsaannya juga Indonesia Raya. Itu fakta bukan fiksi.
Berarti sebenarnya qonun seperti di Aceh itu bisa juga bisa diterapkan pada propinsi lain. Yang juga sama bagian dari NKRI. Berikut ini penjelasan akademiknya. Agak panjang memang. Agar dapat dipakai diskusi.
Memahami teks konstitusi
Memahami suatu teks undang-undang dasar tidak mungkin dapat otentik tanpa melakukan penafsiran historis saat teks itu dibuat. Sebuah teks konstititusi adalah sebuah produk politik. Ia merupakan hasil kompromi dari berbagai kepentingan yang berkecamuk saat konstitusi itu dirumuskan.
Di dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan :
Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionsel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya (Loi constitutionelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki bagaimana prakteknya dan bagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-Undang Dasar itu.
Undang-Undang Dasar negara manapun tidak dapat dimengerti kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-Undang Dasar dari suatu negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu. Harus diketahui leterangan-keterangan dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin.
Dengan demikian kita dapat mengerti apa maksudnya undang-undang yang kita pelajari, aliran pikiran apa yang menjadi dasar undang-undang itu.
Dalam kajian hermeneutika dikenal dua aliran besar, obyektif dan subyektif. Obyektif berarti memahami teks seperti yang dimaksudkan pengarang. Pembaca yang hadir pada dimensi waktu yang berbeda dengan pengarang harus berusaha menyelami secara intens kondisi sosial politik bahkan psikologis pengarang. Hanya dengan cara inilah otentisitas makna akan diperoleh. Emilio Betty, Schleiermacher dan Dilthey adalah penganut aliran ini.
Sebaliknya aliran subyektif berpendapat, bahwa tidak mungkin seorang pembaca yang berada pada dimensi waktu yang berbeda dengan pengarang dapat memperoleh makna otentik. Seorang pembaca dalam memahami suatu teks tidaklah dengan kepala kosong. Ia telah memiliki pra anggapan (pre understanding) yang akan mempengaruhi pemahamannya terhadap suatu teks. Pembaca memiliki historisitasnya sendiri, begitupun pengarang. Karenanya membaca berarti berusaha mengerti (verstehen) teks secara produktif bukan mencari otentisitas makna. Heidegger dan Gadamer adalah pelopor aliran ini.
Mengingat kemungkinan perbedaan penafsiran dalam memahami teks undang-udang dasar maka beberapa negara memberikan otoritas terhadap lembaga tertentu yang dinilai paling benar dalam menafsirinya. Langkah ini untuk menghindari polemik yang berkepanjangan akibat perbedaan tafsir.
Di Inggris lembaga dimaksud adalah parlemen atau legislatif (parliamentary supremacy), sedangkan Amerika, Jerman, India dan negara-negara berbentuk federal lainnya menyerahkannya kepada Mahkamah Agung (judical supremacy). Yang terakhir ini dinilai lebih obyektif karena bukan partisan politik, di samping itu biasanya anggota Mahkamah Agung adalah para akademisi yang masih memiliki kultur akademik kuat.
Di Indonesia pasca reformasi berdiri sebuah lembaga yang berperan untuk mengkaji konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi. Institusi inilah yang mengkaji ulang dan menafsirkan UUD 1945 pasca amandemen.
Dalam proses politik riil. Negara-negara yang belum memiliki budaya demokrasi, penguasa adalah penafsir paling berpengaruh. Cita negara yang sering ada dalam pembukaan konstitusi dan aliran konstitusi yang ekplisit dalam batang tubuhnya seringkali dimaknai sesuai dengan aspirasi penguasa. Ini berarti undang-undang dasar dipakai untuk melempangkan jalan bagi keuntungan penguasa.
Realitas di atas kita jumpai dalam sejarah ketatanegeraan RI. Dengan konstitusi yang sama, yaitu UUD 1945 sistem politik Indonesia menjadi sangat berbeda dari waktu ke waktu. Awal kemerdekaan, karena semangat untuk berdemokrasi RI memakai sistem parlementer. Setelah dekrit 5 Juli 1959 dengan UUD yang sama berubah menjadi demokrasi terpimpin, dan pada era Orde Baru masih dengan konstitusi yang sama berubah menjadi demokrasi.
Penerapan syari’ah Islam dalam bingkai UUD 1945
UUD 1945 yang saat ini dipakai sebagai konstitusi RI telah mengalami perjalanan yang penuh liku. Ia dilahirkan dalam keadaan darurat, sehingga pada mulanya hanya untuk sementara, sebagaimana pidato Sukarno dalam rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
“….tuan-tuan semuanya tentu mengerti, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: Ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna.
Sejarah mencatat, penegasan Sukarno itu ternyata sulit dilakukan. Karena rakyat dan para pemimpin bangsa ini disibukkan revolusi fisik. Menghadapi agresi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Maka setelah mengalami pergantian Undang-Undang Dasar dengan konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. UUD 1945 kembali dipakai lewat dekrit presiden 5 Juli 1959. Hal itu setelah Dewan Konstituante (Dewan pembuat Undang-Undang Dasar), gagal menghasilkan undang-undang dasar.
Hostorisitas lahirnya UUD 1945 diawali dari pembentukan BPUPKI. Sebuah badan bentukan Jepang yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu bila Jepang memberikan kemerdekaan kelak di kemudian hari. Badan ini beranggotakan 62 orang ditambah 6 orang warga negara Jepang sebagi peninjau. Sebagian besar anggota adalah hasil usulan Sukarno dan Muh. Hatta. Meraka adalah represantasi dari keragaman rakyat Indonesia.
Polarisasi terjadi pada lembaga ini. Mereka yang beraliran nasionalis kebangsaan dan nasionalis Islam. Persoalan yang krusial adalah, atas dasar apa Indonesia merdeka nanti berdiri, Islam atau kebangsaan ?. Kebuntuan kompromi mendorong dibentuknya panitia kecil yang diberi wewenang merumuskan dasar negara. Mereka adalah sembilan orang, yaitu Sukarno, Hatta, Abikusno Cokrosuyoso, M. Yamin, Kyai Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Wahid Hasyim, Kahar Muzakir dan A.A. Maramis.
Tim tersebut menghasilkan sebuah kompromi. Antara kelompok nasionalis yang menghendaki negara sekuler berdasarkan kebangsaan dan kelompok Islam yang menghendaki berdirinya negara Islam. Kompromi itu dirumuskan dalam apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Titik kompromi itu terutama tercermin dalam kalimat, “ negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Titik kompromi ini oleh Hazairin disebut sebagai inti dari kontrak sosial rakyat Indonesia.
Kontrak sosial yang amat fundamental tersebut mentah ketika rapat PPKI. Sehari setelah kemerdekaan, yaitu 18 Agustus 1945. Kontroversi sejarah yang sering dikutip adalah. Muhammad Hatta, di sore hari tanggal 17 Agustus 1945 didatangi seorang opsir angkatan laut Jepang. Opsir itu membawa pesan dari Indonesia Timur. Bahwa rakyat Indonesia Timur lebih suka berada di luar Indonesia bila rumusan dasar negara dan juga pasal-pasal tentang agama bersifat” diskriminatif”. Yaitu mengistimewakan umat Islam.
Suasana psikologis para pemimpin bangsa saat itu campur aduk. Gembira karena telah merdeka tetapi juga khawatir akan datangnya tentara Belanda yang ingin kembali menjajah mendorong kelompok Islam “mengalah”. Ki Bagus Hadikusumo, tokoh yang paling keras mempertahankan tujuh kata dalam Piagam Jakarta akhirnya luluh. Tetapi menurut Jarnawi Hadiksusumo, Ki bagus benar-benar kecewa dengan pencoretan kalimat yang berkenaan dengan Islam dalam rumusan akhir konstitusi itu.
Setibanya di Jogjakarta ia mengundang rapat PP Muhammadiyah untuk membahas rumusan konstitusi itu. Sambil mengungkapkan situasi yang serba darurat dan keadaan serba memaksa yang terjadi tanggal 18 Agustus 1945. Ki Bagus mengingatkan bahwa perjuangan umat Islam mencapai cita-citanya belum selesai. Dalam kesempatan yang berbeda yaitu di depan Dewan Konstituante tahun 1957. Isa Anshari, seorang tokoh Masyumi mengatakan. Bahwa pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta layaknya permainan sulap, penuh pat gulipat permainan politik.
Pengungkapan sejarah perumusan dan perjalanan UUD 1945 diperlukan untuk mencari tafsir otentik dari pasal-pasal dalam batang tubuh konstitusi tersebut. Memang benar, realitasnya tujuh kata yang merupakan inti kontrak sosial dalam Piagam Jakarta telah dicoret dalam pembukaan dan pasal 29 UUD 1945. Tetapi juga perlu diperhatikan bagaimana kondisi sosial politik serta psikologis para perumusnya pada peristiwa itu. Dengan demikian pemaknaan teks konstitusi yang pure sekular jelas tidak sejalan dengan realitas proses sejarah yang melatari disahkannya UUD 1945 oleh PPKI. Apalagi bila dirunut perjalanan ketatanegaraan Indonesia selanjutnya sampai munculnya kembali UUD 1945 pada dekrit ptesiden 5 Juli 1959.
Sebelum presiden Sukarno mengeluarkan dekrit. Dewan Konstituante telah merampungkan 90 prosen pekerjaanya. Hanya ada satu persoalan yang masih mengganjal dan menjadi tarik ulur yang berkepanjangan, yaitu masalah dasar negara. Seakan mengulangi peristiwa BPUPKI dan PPKI. Antara kelompok Islam dan nasionalis kembali berbeda paham. Sampai akhirnya Sukarno menawarkan dipakainya Piagam Bandung. Yaitu hasil kerja Dewan Konstituante, disahkan saja menjadi undang-undang dasar dengan menempatkan Piagam Jakarta sebagai dokumen historis.
Tawaran itu tidak disambut. karena menurut kelompok Islam, dokumen historis tidak ada kekuatan hukumnya sehingga Syari’ah Islam tidak mungkin diterapkan. Akhirnya dengan dukungan tentara dekrit itupun dibacakan di hari minggu di depan Istana. Dan sebagai bentuk akomodasi terhadap kepentingan umat Islam Piagam Jakarta di tempatkan pada konsideran, yaitu sebagai yang menjiwai dan satu kesatuan dengan UUD 1945.
Dengan demikian Undang-Undang Dasar 1945 yang saat ini dipakai RI adalah UUD 1945 yang ditetapkan lewat dekrit presiden 5 Juli 1959, bukan lewat pengesahan PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Meskipun keduanya secara material sama tetapi terdapat beberapa perbedaan yang fundamental :
Pertama : UUD 1945 hasil penetapan PPKI bersifat sementara sedangkan hasil penetapan dekrit sudah berlaku tetap.
Kedua : UUD 1945 hasil penetapan PPKI sama sekali tidak mengakomodasi diktum Piagam Jakarta. Sedangkan hasil dekrit walaupun hanya dalam konsideren secara ekplisit disebutkan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan menjadi satu kesatuan dengan konstitusi.
Ketiga : UUD 1945 hasil penetapan PPKI dikeluarkan dalam kondisi psikologi perumusnya tidak dapat berfikir jernih. Karena takut akan datangnya pasukan Belanda, sementara hasil dekrit tidak demikian. Di samping itu dalam rapat PPKI Sukarno juga memberi harapan besar untuk memperjuangkan aspirasi Islam lewat parlemen hasil pemilu yang segera digelar.
Memperhatikan historisitas UUD 1945 di atas, baik tatkala perumusan pertama kali maupun ketika ditetapkan kembali lewat dekrit presiden 5 Juli 1959 maka sudah semestinya bila negara mengakomodasi kepentingan umat Islam berdasarkan pasal 29 UUD 1945 yang ada.
Meskipun UUD 1945 sudah diamandemen saat reformasi. Tetapi pasal tentang agama ini tidak ikut diubah. Masih asli seperti saat konstitusi ini diberlakukan kembali dengan dekrit presiden.
Pasal 29 UUD 1945 berisi dua ayat :
- Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
- Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu. Kata menjamin pada ayat 2 di atas menurut Hartono Marjono bersifat imperative. Artinya negara berkewajiban melakukan langkah-langkah agar masyarakat secara optimal dapat melakukan ibadah, termasuk dalam hal ini adalah menyediakan perangkat hukumnya.
Kalimat ini saeperti ungkapan begini. “Saya menjamin anda nyaman selama tiga hari kalau bersedia menginap di rumah saya”.
Itu artinya saya harus menyediakan segala sesuatu. Baik tempat tiggal, makan dan, keamanan dan lain-lain agar tamu tersebut nyaman.
Maka terbitnya undang-undang tentang perbankan syariah, undang-undang tentang pornografi, undang-undang tentang waqaf, undang-undang tentang zakat serta impress Kompilasi Hukum Islam merupakan implementasi dari pasal 29 ayat 2 di atas. Dengan demikian tanpa diamandemenpun sebenarnya seluruh syari’at Islam.
Pro kontra tentang penerapan syari’ah Islam itu berpangkal pada sebuah pertanyaan. Orang beragama itu hak atau kewajiban ?. Persoalan agama dalam konstitusi di negara–negara modern saat ini ditempatkan pada bab hak asasi manusia. Seperti yang di sampaikan presiden Franklin D. Roosevelt dalam the four freedom yaitu ; kebebasan untuk berbicara, kebebasan beragama, kebebasan dari rasa takut dan kebebasan dari kemelaratan. Pemikiran ini kemudian ditetapkan dalam biil of right (undang-undang hak) yang menjadi bagian dari konstitusi Amerika Serikat.
Menurut Islam beragama bukan sekedar hak. Dalam proses memilih, agama menjadi hak setiap manusia. Tetapi ketika seseorang telah berketetapan memilih Islam sebagai agamanya ia bukan lagi melaksanakan haknya tetapi padanya telah ada kewajiban yang mesti dilakukan dan ini adalah sebuah konsekuensi dari pilihannya tersebut.
Islam tidak memaksa seseorang untuk memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Islam menghormati atas pilihan orang yang berbeda, tetapi umat Islam berkewajiban menyelamatkan saudara-suadaranya yang telah berketetapan memilih Islam sebagai agamanya. Dan bentuk “penyelamatan” paling otentik dalam tradisi Islam adalah diterapkannya syari’ah Islam bagi setiap individu muslim.
Selanjutnya karena Islam bukan hanya agama etik yang bisa dilaksankan secara personal tetapi juga sosial yang ditegakkan secara politik maka campur tangan negara dalam urusan syari’ah Islam tidak dapat dihindarkan. Pendirian Islam ini diakui Bernard Lewis :
“Persembahkan kepada Kaisar apa-apa yang milik kaisar, dan kepada Tuhan apa-apa yang menjadi milik Tuhan. Tentu ini adalah doktrin dan praktik Kristen. Hal ini benar-benar asing bagi Islam…. Pertalian antara agama dengan kekuasaan, komunitas dan praktik politik ini sudah dapat dilihat di dalam Al Qur”an sendiri dan juga naskah lain yang lebih dini yang atasnya orang Islam mendasarkan kepercayaannya. Sebagai konsekuensinya, di dalam Islam agama bukanlah -sebagaimana yang dalam Kristen- suatu sektor atau segmen di dalam kehidupan, mengatur beberapa hal . Sebaliknya agama berhubungan dengan seluruh kehidupan, bukan suatu yurisdiksi yang terbatas, melainkan total.”
Memperhatikan keyakinan umat Islam seperti ini, dan melihat latar historis ditetapkannya UUD 1945. Dapat dikatakan, bahwa aspirasi umat Islam tidak dapat dinafikan begitu saja. Tuntutan umat Islam terhadap diterapkannya syari’ah ini. Karena sebagai muslim terikat dengan syariat dan ini adalah persoalan teologis yang sulit ditawar
Menurut kami penerapan Syari’ah Islam adalah jalan keluar terbaik, hanya saja secara teknis cukup diakomodasi dalam perundang-undangan di bawah UUD 1945 setelah amandemen pasal 29 gagal dilakukan. Dengan cara ini syari’ah Islam akan mewarnai sistem ketatanegaraan RI walaupun secara formal bukan sebagai negara Islam.
Pemilu pintu pertamanya
Tahun 2019 kembali pemilu digelar. Umat Islam mestinya serius ikut memperjuangakan wakil-wakilnya di parlemen. Anggota DPR adalah legislator. Lembaga itulah yang bertugas mengesahkan undang-undang. Apabila yang menjadi anggota DPR itu mayoritas anti syariah Islam. Dipastikan tidak akan ada produk peraturan yang mendukung syariah.
Mungkin diantara kita jengah, marah bahkan putus asa dengan perilaku anggota DPR selama ini. Yang dipertontonkan media, mereka sibuk dengan kepentingannya sendiri. Korup, pamer kekayaan dan akrobat politik yang menjijikkan. Mereka tidak lagi memperjungkan kepentingan rakyat. Bahkan mungkin memeras rakyat. Lewat produk undang-undang yang menguntungkan konglomerat.
Kalau itu yang terjadi. Saatnya sekarang melakukan kontrak politik dengan calon wakil rakyat. Yang hari-hari ini sedang mempromosikan diri. Tinggalkan calon anggota DPR yang tidak jelas perjuangannya. Bahkan tidak paham agenda umat yang mesti diperjuangkan.
Calon legislatif yang mau dan berani memperjuangkan syariah. Itulah mestinya yang menjadi pilihan. Karena dari mereka itulah nantinya produk perundang-undangan yang pro syariah akan dihasilkan. Minimal ini peran serta rakyat muslim yang bisa dilakukan. Ikut berjuang menegakkan syariah lewat negara.
Wallahu’alam