Oleh: Ust. Mualif Rosyidi (almarhum)
(Ketua Yayasan Al Mukmin, Alumni Ngruki)
Wilujeng menapa kemawon…
Assalamu Alaikum, mugi sehat wal afiat sedaya para sutrisna coretan mbah kumis…
Belajar dari alam sekitar tidak kalah pentingnya dengan studi di bangku sekolah atau kuliah, karena itu termasuk membaca ayat Nya yg “kauniyah”….
Kalau kemaren telah disenggol urgensinya belajar dari pohon kurma, pohon kelapa, lebah dll, kini yuk belajar dari seekor semut.
Mbah kumis jadi ingat sair lagunya Akhmad Albar, God Bless, yg ngerock (kayak ngerok pohon saja?) dengan judul “Semut Hitam” :
“Semut semut seirama…
Semut semut yg senada…
Menyanyikan hymne bersama :
Makan…Makan…Makan.. “.
Dan seterusnya….lanjutkan sendiri bro, sambil lèyèh..lèyèh..
Tiap hari kita disuguhi pelajaran dari semut yg kecil itu, yg sering dilihat hanya dengan sebelah mata, berupa :
Semangat kerjanya, gotong royongnya, ketekunannya, loyalitasnya, solidaritasnya, persaudaraannya, daya dobrak dan gempurnya.
Makanan yg besarnya ribuan kali dari berat badannya saja bisa digotong bareng-bareng dengan “hulubis kuntul baris” menuju liangnya yg jaraknya cukup jauh.
Dalam perjalanan kok bertemu dengan sesama semut..pasti akan menyempatkan diri untuk berhenti, saling “uluk salam”…
Saling menyapa, berjabat tangan, “cipika cipiki”, sebagai ekpresi semangat persaudaraan mereka yg tulus.
Belum daya dobraknya yg amazing banget, yg bikin kita gèlèng kepala karena nggumun, masak sekecil itu bisa mendobrak masuk toples..
Bayangkan lur.. sebuah toples yg berisi gula (padahal sudah ditutup dengan “rapat” ,..nutupnya saja pakai seremonial rapat lho ?), tetapi dengan daya dobraknya..semut itu bisa masuk ke dalamnya, dan dengan santai menikmatinya.
Jangan ditanya lagi urusan solidaritasnya ?
Kita harus belajar banyak dengan semut, jika komunitasnya terganggu, liangnya terusik, eksistensinya akan diacak acak pihak lain,…aja tekon dosamu mbul :
Pasti akan dilawan habis, rawé rawé rantas malang-malang putung, “sadumuk bathuk sanyari bumi..dilabuhi pecahing dada wutahing ludira..” (nasionalisme yg tak diragukan).
Seharusnya kita berguru kepada semut, tidak malah tunduk dan tak berkutik saat digertak pihak lain, (karena kita terlalu banyak dihutangi jasa oleh orang lain), akhirnya “pélo”, tak bisa omong sepatah pun , dan tak berkutik.
Hanya untuk mengatakan “TIDAK” saja, tak ada nyali,.. akhirnya bagaikan buih, besar tapi ompong, tak ditakuti, mengikuti kemana arah angin bertiup…Naudzubillah.
Maka ada nasehat yg berbahasa Arab , yg ngontek :
In lam takun dzi’ban, akalatka adzzi’aab, artinya :
Jika kalian tidak mau jadi srigala (di hutan ini), maka siap-siaplah disantap srigala-srigala lainnya.
(remuk muk bro…).
Tetapi ada sinyal penting (berupa pitutur luhur), yg bisa jadi pepèling untuk disimak, yg mengingatkan kita bahwa :
Sering posisi kita, keberadaan kita yg jadi semut, meski kecil, tetapi lebih dihargai, penuh semangat ukhuwah, dan gotong royong, saling menghargai, tidak menafikan yg lain.
Namun situasi atau kondisi jadi berubah drastis (dan justru sering menjatuhkannya), disaat semut itu diberi oleh Nya dua “sayap”, bukannya baik, umurnya jadi pendek, karena dithuthul pitik, atau kanibal lainnya.
Kok bisa gitu Mbah ?
Jelas bisa lur, karena kapasitasnya belum siap, tiba-tiba sudah punya kedua sayap,….akhirnya karepé (keinginannya) macem macem.
Karena belum faham sikon, belum menyadari habitat baru.. tanpa pikir panjang, mengepakkan sayapnya terbang, belum satu menit..sudah diterkam tekèk atau sejenisnya, dan berakhir “tragis”.
Jelang pileg dan lainnya, kita siap saja akan mendengar kabar banyaknya yg stress, kehilangan keseimbangan,…karena tidak “siap” kalah dalam pertarungan.
Inginnya punya sayap, padahal ndak punya modal sosial, dan kesiapan mental untuk kalah…ya stress dhéwé , dan kalau sampe jadi apa yg bisa diharapkan (?).
Oke tetep nyangoni dan ndongakké putra wayah ..amin.