Oleh : Anab Afifi
(Penulis Buku, Alumni)
Alkisah. Di sebuah negeri. Seorang raja tengah gundah gulana. Putranya yang akan mewarisi tahta terlahir dengan tubuh yang bongkok.
Raja pun curhat kepada para penasehat kerajaan: apa langkah yang harus diambil?
Agar sang putra itu nantinya bisa menjadi pangeran yang gagah dan berwibawa. Tidak seperti sekarang yang minder. Akibat punggungnya yang bongkok.
Lalu Sang Penasehat memberikan ide untuk menghadiahi sang pangeran muda patung perunggu terbaik. Patung yang menggambarkan kegagahannya kelak diwaktu dewasa.
Maka diperintahkannya pemahat terbaik di negeri itu untuk membuat patung yang diinginkan itu. Dan akhirnya, jadilah patung perunggu setinggi hampir 2 meter yang gagah sekali.
Patung itu diletakkan di taman belakang. Tempat sang pangeran muda bermain setiap hari. Di sana raja tiap pagi mengajak sang pangeran muda berdiri di atas patung perunggu itu.
“Nak, ini adalah kamu 20 tahun yang akan datang. Kamu akan menjadi raja yang gagah. Perkasa. Berwibawa seperti orang ini. Asal kamu mau berlatih keras. Apakah kamu mau nak menjadi seperti dia?”
Tiap hari sang pengeran muda berdiri di depan patung itu dan mengagumi kegagahannya. Makin hari, dia makin terpesona. Dia bertekad bulat ingin berlatih bela diri lebih sungguh lagi agar kelak mendapatan badan yang gagah seperti patung perunggu itu.
Tak terasa waktu sudah 20 tahun berlalu. Hari ini sang pangeran muda dilantik menjadi raja. Tubuhnya kekar, tegap dan berwibawa.
Tak ada guratan bekas dia menderita punggung bongkok. Tekad yang kuat dari hasil berlalatih bela diri di depan patung perunggu telah mengubah dirinya.
Kristalisasi latihan itu menjadikan tubuhnya tegap. Tinggi lurus menjulang dengan otot-ototnya yang padat.
Kini dia benar-benar siap memimpin penuh percaya diri. Seperti dicita-citakan ayahnya yang telah meninggal beberapa waktu lalu.
Itulah kekuatan sugesti.
Kekuatan yang mampu membalikkan kalimat: “Ah mana mungkin. Itu sungguh mustahil!”
Ia mampu menyingkirkan kendala-kendala yang ada menjadi prestasi.
Orang tua tidak perlu risau dengan kondisi anak-anak mereka. Entah itu kekurangan fisik. Maupun prestasi akdemik.
Sebab pemenang sejati bukan mereka yang fisiknya besar dan kuat. Bukan pula mereka yang selalu juara di kelas.
Tetapi anak-anak zaman yang mampu menjadi pemenang hidup. Yang mampu mengadapi gelombang kehidupan dengan berbagai perubahannya.
(Anab Afifi dan Anke DS)